9.29.2006

Pernyataan Sikap FRAPERNAS Atas Kasus Tambang di Molo dan Belu

FRONT PERSATUAN PEMBEBASAN NASIONAL
(FRAPERNAS)
KOTA KUPANG
• LMND • SRMK • SEPARATIK • IMATOR • FORSDEM

__________________________________________________________________

Pernyataan Sikap
AKSI SOLIDARITAS TERHADAP
PERJUANGAN RAKYAT MOLLO, TTS dan RAKYAT LIDAK, BELU
MENOLAK PERTAMBANGAN MARMER DI DAERAHNYA


SELAMATKAN LAHAN PANGAN RAKYAT !!

SELAMATKAN AIR DI PULAU TIMOR !
TOLAK PERTAMBANGAN MARMER !!!



Penolakan rakyat terhadap aktivitas penambangan Marmer di Pulau Timor bukan lagi hal yang baru. Berbagai macam bentuk sikap penolakan tampak dalam tindakan rakyat, mulai dari menulis di surat pembaca media massa, mengirim delegasi untuk berdiaolog dengan pemerintah, DPRD dan pengusaha, hingga aksi massa pendudukan dan blokade areal dan aktivitas pertambangan yanng beberapa kali berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan rakyat. Kni rakyat di dua kabupaten yang berbeda di Pulau Timor sedang resah dan berjuang untuk menolak aktivitas pertambangan. Mereka adalah rakyat Fatumnasi, di Kabupaten TTS dan Rakyat Lidak, di Kabupaten Belu.

Penolakan rakyat umumnya dilandasi oleh semangat mempertahankan keselamatan alam dan kedaulatannya atas lahan mata pencaharian, dimana keduanya berhubungan dengan produksi pangan.

Sayangnya respon yang ditunjukan rakyat tidak kunjung mengubah sikap dan cara berpikir para penghasil kebijakan, baik itu Pemerintah pusat hingga Bupati, maupun jajaran legislatif dari pusat sampai kabupaten.

LANDASAN SIKAP
Aktivitas Pertambangan Marmer memang lebih banyak mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat, dari pada keuntungan. Keuntuan hanya menjadi milik pengusaha/investor dan pemerintah yang bersekutu dengannya.

Bagi rakyat di sekitar pertambangan, kesengsaraan yang dialami berupa:

1. Hilangnya lahan pertanian akibat dirampas oleh perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pendukung pertambangan maupun oleh karena letak lahan mereka di atas gugusan marmer yang ditambang

2. Hilangnya akses rakyat terhadap air, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, maupun untuk mengairi lahan pertaniannya. Hal ini disebabkan oleh rusaknya sumber mata air (umumnya bukit marmer terdapat banyak mata air dan aliran sungai bawah tanah), maupun oleh pencemaran air karena limbah pertambangan

3. Berbagai macam penyakit, terutama penyakit kulit dan perut karena pencemaran air.

4. Rusaknya budaya dan istiadat masyarakat setempat (umumnya bagi rakyat di Pulau Timor, bukit marmer adalah tempat yang disakralkan untuk melakukan upacara adat)

5. Potensial mengalami kekerasan HAM berupa intimidasi dan tindakan represif dari aparat kepolisian, tentara maupun preman yang melindungi kepentingan pemodal.

6. Bagi Rakyat di Pulau Timor, operasi tambang Marmer, terutama di Kawasan Pegunungan Mutis dan Timau, merupakan ancaman bagi ketersedian air dan produksi pangan. Berbagai macam DAS yang mengaliri daratan Timor bersumber dari Timau dan Mutis yang kaya dengan cadangan Marmer.

Tambang Marmer juga bukan hal yang penting bagi masyarakat. Marmer bukanlah kebutuhan pokok konsumsi rakyat (dibandingkan dengan air dan pangan). Marmer juga bukanlah bahan baku bagi kelangsungan sistem ekonomi dan kemajuan kehidupan umat manusia (bandingkan dengan tambang minyak, gas, batu bara serta biji besi dan aluminium). Sebesar-besarnya produksi marmer hanya berakhir sebagai pajangan penghias rumah orang-orang kaya.

Keuntungan yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan Marmer juga hanya bagian yang sangat kecil jatuh ke tengan pemerintah dan digunakan untuk melayani kepentingan rakyat. Paling besar keuntungan pertambangan Marmer jatuh ke tangan pengusaha yang membawa keluar bongkahan Marmer dari Timor dan mengolahnya di tempat lain menjadi produk yang bernilai jauh lebih tinggi dari pada bongkahannya. Di tempat asalnya, si investor menikmati keuntungan dari penjualan marmer yang nilainya sudah bertambah berkaki-kali lipat.

Apakah penambangan Marmer bisa membuka lapangan kerja di Pulau Timor? Ya, tetapi sangat sedikit karena industri pengolahannya tidak terletak di Timor. Sementara kerugian yang dirasakan rakyat, tidak terhitung besarnya.

Sikap yang seharusnya diambil bagi pertambangan marmer adalah PENUTUPAN.

Hal ini berbeda dengan penambangan Minyak dan Gas Bumi, Batu Bara ataukah logam yang memang sangat dibutuhkan sebagai bahan baku dan bahan bakar produksi berbagai macam kebutuhan. BAGI TAMBANG MINYAK DAN GAS BUMI, BATU BARA ATAUKAH LOGAM SEPERTI BIJI BESI, TEMBAGA DAN ALUMINIUM, selain wajib memperhatikan keselamatan lingkungan, sikap yang seharusnnya diambil pemerintah adalah

MENASIONALISASI INDUSTRI PERTAMBANGAN,

agar keuntungan yanng selama ini dinikmati pemodal asing bisa beralih ke tangan negara untuk digunakan bagi perbaikan dan pelestarian lingkunganl, menyediakan dan melayani berbagai macam kebutuhan rakyat.

Perkembangan Persoalan Tambang Marmer di Mollo, Fatumanasi Kab. TTS dan Lidak, BELU

1. Lidak, Belu


- Lidak adalah kawasan yang meliputi Kecamatan Kota, Kecamatan Tasbar dan Kecamatan Kakuluk Mesak

- Perbukitan Lidak memiliki cadangan Marmer menurut pemetaan PT SIPON MULTI AKTIF (SMA) adalah 20 buah batu, terbentang pada kawasan seluas 9000 Ha yang meliputi Kelurahan Umanen (kecamatan Kota Atambua), Desa Tukuneno Kecamatan Tasbar, Desa Fatuketi, Desa Dualaus, Desa Jenilu dan Desa Kenebibi, Kec. Kakuluk Mesak

- Mayoritas rakyat di kawasan perbukitan Lidak bekerja sebagai petani dan peternak. Pekerjaan ini dijalankan dengan teknik dan teknologi yang sederhana.

- Oleh masyarakat setempat, bukit-bukit Batu Lidak merupakan tempat melaksanakan upacara adat, terutama upacara meminta hujan dan menolak curang hujang yang terlalu tinggi

- PT SMA mengklaim memiliki hak mengeksploitasi cadangan Marmer Lidak berdasarkan:

a) Keputusan Bupati Belu bernomor: Distamben.540/BP.PP/06/V/2006 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Bahan Galian C (Marmer) kepada PT Sipon Multi Aktif

b) Undangan Wagub NTT, Frans Leburaya

- Pada tanggal 25 Agustus, bertempat di Aula Gereja Katolik setempat diadakan sosialisasi rencana kerja eksploitasi Marmer oleh PT SMA didampingi Kadistamben Kabupaten Belu, Kepala desa di sekitar Perbukitan Lidak dan camat dari 3 kecamatan.

Saat pertemuan tersebut, PT SMA dan Pemerintah tidak memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan rakyat.

Bahkan Camat Kota Atambua mengusir salah seorang peserta (Yoseph Seran) karena mengajukan pertanyaan tentang dampak pertambangan, AMDAL, dan kompensasi bagi rakyat

- Pada tanggal 28 Agusutus diadakan lagi sosialisasi rencana pertambangan. Kegiatan ini dibuka Bupati Belu, dan dihadiri oleh kalangan pengusaha, pejabat TNI, Polri, LSM. Sementara itu undangan terhadap rakyat diskriminatif didominasi bagi kelompok kecil yang pro pertambangan. Demikian juga rakyat yang hanya mengenakan kain (umumnya kaun tani) tidak diizinkan masuk.

- Sosialisasi ini juga tidak memuaskan rakyat, tertuama persoalan kejelasan penggunaan lahan 9000 Ha yang dicemaskan agar menggusur rakyat dan mengubah fungsi lahan pertanian dan hutan menjadi areal pertambangan.

- Dalam kegiatan sosialisasi ini ditemukan penipuan oleh kepala desa Tukuneno yang memanipulasi pernyataan sikap rakyat menolak pertambangan yang ditandatangani 15 orang perwakilan rakayt menjadi pernyataan mendukung pertambangan.

- Pada tanggal 17 September, pertemuan di Kantor Kelurahan Umanen, yang juga dihadiri aktivis LMND (Donatus Djo) dan pengurus KP PAPERNAS Kabupaten Belu (David Seran), pihak dinas pertambangan, dan pengusaha, berakhir tanpa titik temu ketika upaya pihak pengusaha-pemerintah menandatangani MoU yang isinya berat sebelah dibelokan rakyat menjadi forum gugatan pemberian izin penambangan yang tidak demokratis dan upaya sosialisasi yang manipulatif.

- Setelah dua kali pertemuan pada tanggal 19 dan 20 September di Paroki Umanen, antara rakyat, LMND NTT dan KP PAPERNAS Kabupaten Belu disepakati terbentuknya Front Persatuan Masyarakat Lidak-Umanen (FPMLU) sebagai wadah perjuangan menolak kehadiran penambangan Marmer di Lidak. Pertemuan juga menghasilkan dokumen pernyataan sikap penolakan penambangan.

- Pada pertemuan tanggal 21 September antara 40-an oranng utusan rakyat dan pemerintah yang difasilitasi Lurah Umanen, rakyat menolak agenda pembahasan isi MoU dan menggantinya dengan pembacaan pernyataan sikap penolakan Hasil Sosialisasi Penambangan Marmer di Lidak yang memanipulasi penolakan rakyat menjadi kesepakatan.

2. Kuanoel, Fatumnasi, TTS


- FautLik (bukit batu) yang berdiri gagah di Desa Kuanole, Kecamaten Fatumnasi, Kabupaten TTS)sedang berada di bawah ancaman alat berat milik PT. Teja Sekawan Surabaya, perusahan tambang Marmer. FautLik akan menjadi korban berikut, setelah FatuNaitapan di Tunua, desa tetangga yang tidak jauh dari Kuanoel porak-poranda ditambang. Terutama setelah terhentinya perlawanan rakyat di Naitapan oleh represi, penangkapann dan penahanan puluhan peserta aksi blokade oleh aparat polisi dan preman yang menjadi centeng perusahaan.

- Pantauan kawan-kawan PIKUL, LMND (Buce Brikmar) dan LBH Timor yang mengunjungi Desa Kuanoel 9-10 September, tampak excavator, truk besar (FUSO) dan berbagai peralatan dan perlengkapan tambang terus masuk ke Kuanoel.

- Aktivitas penambangan belum berjalan lancar oleh perlawanan Kaum Perempuan Kuanoel dan Fatumnasi yang berdiri paling depan menghadanng Excavator.

- Tetapi aparat represif (tentara dan polisi) dan preman bayaran selalu menjadi pengawal setiap kepentingan pemodal, menenteng senjata mendatangi rakyat dan mengintimidasi rakyat untuk tidak mmelakan aksi unjuk rasa dan menolak kedatangan oragan-orang dari luar Mollo yang memberi solidaritas terhadap perlawanan rakyat.

- Demikian pula Camat memainkan peran penting mendukung penambangann dan menekan rakyat.

- Bahkan, menurut pengakuan rakyat (Bapak Yohannes Almet), Kantor Catatan Sipil ikut-ikutan memainkan peran, bertindak diskriminatif terhadap rakyat penolak tambang yang mengurus surat-surat dan perizinan. Pernah kejadian, pada saat yang sama, dua orang warga Fatumnasi yang berbeda sikap politik terhadap penambangan datang ke catatan Sipil mengurus izin perkawinan. Rakyat yang menolak tambang tidak dilayani dengan alasan si pejabat akan segera berangkat ke Jakarta, sementara rakyat yang setuju penambangan mendapatkan surat izin dengan mudahnya.

- Rakyat Fatumnasi tentu saja menolak tambang, karena itu berarti:

- Lahan pertanian rusak dan terampas oleh aktivitas tambang

- Sumber air disedot untuk kepentingan penambangan, air keruh mengancam kesehatan dan pada akhirnya sumber air akan hilang ketika batu ditambang.

- Keresahan akibat aparat polisi dan tentara yang mondar-mandir di desa mereka

- Angin yang turun kencang dari Puncak gunung Mutis akan semakin berlipat-lipat kencang menerpa rumah rakyat dan tanamannya karena Fautlik yang berdiri menghadang angin akan dipangkas.

- Hancurnya simbol budaya Mollo (Fautkanaf—masyarakat penjaga batu, dan Oekanaf—penjaga air)

- Kerusakan lahan pertanian dan penurunan ketersediaan air berdampak pada turunnya produksi pangan, yang berujung pada kemiskinan rakyat dan kelaparan.

- Batu-batu di sekeliling Mutis di tambang berarti membahayakan keberlangsungan aliran air di DAS-DAS di seluruh pulau Timor.

- Itu berati penambangan Fautlik dan bukit-bukit batu lainnya = kekeringan Timor di masa depan = kehancuran lebih dalam ketahanan pangan = kematiann bagi anak-cucu setiap manusia yang hidup di atas Pulau Timor.



Tuntutan:
Berdasarkan hal-hal di atas, kami menuntut:

1. Kepada DPRD NTT untuk sedikit membuka hati dan pikirannya agar:
- Mengeluarkan sikap politik mendesak Bupati TTS dan Bupati Belu menghentikann aktivitas maupun rencana penambangan di Mollo dan Lidak.

- Mengeluarkan sikap politik mendesak Gubernur NTT memberi keterangan yang jujur tentang posisi izin prinsip penambangan marmer yang pernah dikeluarkan dan mencabutnya jika izin tersebut masih menjadi salah satu landasan pemberian izin penambangan oleh bupati-bupati di Timor.

- Mengeluarkan sikap politik mendesa pimpinan TNI dan POLRI untuk menarik kembali personilnnya yang bekeliaran di Fatumnasi agar tidak meresahkan rakyat dan berpotensi melanggar Hak Asasi Sipil Politik Rakyat.



2. Kepada Kapolda NTT, kami menuntut:
- Menindak tegas kapolres TTS, dan Kapolsek Fatumnasi jika terdapat indikasi intimidasi terhadap rakyat oleh pasukannya.

3. Bupati TTS dan Bupati Belu, kami menuntut:
- Mendengarkan keluhan dan tututan rakyat

- Memperhatikan keselamatan ekologis dan ketahanan pangan pulau Timor

Dengan cara:

- Segera mencabut izin penambangan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan tambang Marmer di wilayah masing-masing

- Menuntut Perusahaan yang telah atau sedang beroperasi bertanggungjawab merehabilitasi kondisi lingkungan yang rusak akibat aktivitasnya.




SELAMATKAN LAHAN PANGAN RAKYAT !!
SELAMATKAN AIR DI PULAU TIMOR !
TOLAK PERTAMBANGAN MARMER !!!







Kupang, 28 September 2006



koordinator

Aksi Solidaritas untuk Rakyat Mollo dan Lidak

Front Persatuan Pembebasan Nasional \FROPERNAS)







Y. B. Tolok



 

9.28.2006

Siaran Pers Jatam, 21 September 2006

Kamis 21 September 2006 16:34:33
WIB Tambang Marmer di Timor, Langgar Hak Warga

MinergyNews.Com, Jakarta - Surat Keputusan Bupati Timor Tengah Selatan mengenai penambangan marmer di kawasan Pegunungan Molo, menuai konflik antar masyarakat. (release JATAM, 20/9)Perusahaan tambang marmer, PT Teja Sekawan yang mengantongi surat dari Bupati telah secara semena-mena menggusur tanah milik warga untuk pembuatan jalan ke lokasi penambangan di gunung batu Faut Lik dan Fatu Ob, Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi, tanpa negosiasi terlebih dahulu.

Pada tanggal 24 Agustus 2006, PT Teja Sekawan telah menggunakan alat berat membongkar paksa pagar kebun milik keluarga Eti Anone untuk dijadikan jalan menuju gunung batu yang hendak ditambang. Aksi sepihak perusahaan yang menginjak-injak hak dan kepemilikan orang lain ini sempat dihentikan oleh warga. Namun kemudian, perusahaan memecah belah warga dengan membayar sebagian orang agar mendukung tambang.

Ironisnya, aparat Polri, PNS, dan TNI yang hadir di sana justru membenarkan tindakan perusahaan tersebut. Mereka yang seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat justru telah mengorbankan rakyat demi kepentingan pengusaha.

Peristiwa serupa telah sering terjadi. Yang terkahir pada Maret 2006, terjadi konflik antara masyarakat dengan PT Sumber Alam Marmer (SAM) yang juga mendapat ijin Bupati untuk menggali dan memotong bukit batu di Desa Tunua, Kecamatan Fatumnasi.

Pemotongan gunung-gunung batu di sana menyebabkan rusaknya tata air sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih. Pemotongan gunung batu juga menyebabkan tanah longsor hingga menggerus lahan pertanian.

Tindakan Bupati mengijinkan penambangan batu marmer sangat tidak logis, mengingat gunung batu memiliki fungsi hidrologi yang sangat vital sebagai resapan air. Hilangnya gunung batu menyebabkan krisis air bagi warga setempat dan resiko tanah longsor.

Hampir seluruh pulau Timor dinaungi jajaran pegunungan batu yang secara evolutif merupakan bentukan alam yang paling sesuai untuk ekosistem setempat. Tindakan Bupati yang tanpa didasari analisis ilmiah mendalam akan memusnahkan gunung-gunung batu tersebut. Sudah pasti keseimbangan alam yang terbentuk lewat proses evolutif ribuan tahun akan terganggu dan akan beresiko menimbulkan bencana. Pada akhirnya, rakyat yang bermukim di sekitar lokasi tambang akan menanggung kesengsaraan, bukan Bupati, Kapolres, apalagi pengusaha.

Kasus ini sekali lagi membuktikan bahwa pertambangan skala besar dan pemerintah kerap menggunakan cara-cara kotor untuk memaksakan pertambangan beroperasi, sehingga memicu konflik horisontal.

JATAM mengecam tindakan Bupati TTS yang mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan yang memicu konflik sosial dan beresiko tinggi bagi keselamatan rakyat dan lingkungan. JATAM menuntut aparat pemerintah dan keamanan berhenti melindungi perusahaan dan segera memperhatikan masalah warga.

Kabupaten TTS terbukti tidak menegakkan citra pemerintah yang bersih (Good governance) sehingga tak hanya beresiko bagi keselamatan rakyat setempat tetapi juga terhadap keamanan investasi. Pendekatan kekerasan di semua lokasi pertambangan skala besar terbukti menghasilkan konflik sosial berkepanjangan dan mengakibatkan biaya sosial yang tinggi bagi perusahaan. (MNC-8)

9.25.2006

Siaran Pers JATAM

Siaran Pers JATAM, 20 September 2006
Bupati Timur Tengah Selatan Lagi-lagi Memicu Konflik

Jakarta. Sekali lagi, perampasan hak milik rakyat oleh perusahaan tambang terjadi di kawasan Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perusahaan tambang marmer PT Teja Sekawan semena-mena menggusur tanah milik warga tanpa negosiasi untuk membuka jalan penambangan ke gunung batu Faut Lik dan Fatu Ob, Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor TengahSelatan (TTS). Meskipun ditolak warga, perusahaan nekat menggusur tanah warga dengan dalih telah memegang SK Penambangan dari Bupati TTS dan dibekingi sejumlah aparat keamanan.

Pada tanggal 24 Agustus 2006, PT Teja Sekawan telah menggunakan alat berat membongkar paksa pagar kebun milik keluarga Eti Anone untuk dijadikan jalan menuju gunung batu yang hendak ditambang. Aksi sepihak perusahaan yang menginjak-injak hak dan kepemilikan orang lain ini sempat dihentikan oleh warga. Namun kemudian, perusahaan memecah belah warga dengan membayar sebagian orang agar mendukung tambang. Ironisnya, aparat Polri, PNS, danTNI yang hadir di sana justru membenarkan tindakan perusahaan tersebut.Mereka yang seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat justru telah mengorbankan rakyat demi kepentingan pengusaha.
Peristiwa serupa telah sering terjadi. Yang terkahir pada Maret 2006,terjadi konflik antara masyarakat dengan PT Sumber Alam Marmer (SAM) yang juga mendapat ijin Bupati untuk menggali dan memotong bukit batu di DesaTunua, Kecamatan Fatumnasi. Pemotongan gunung-gunung batu di sanamenyebabkan rusaknya tata air sehingga warga kesulitan mendapatkan airbersih. Pemotongan gunung batu juga menyebabkan tanah longsor hingga menggerus lahan pertanian.
Tindakan Bupati mengijinkan penambangan batu marmer sangat tidak logis, mengingat gunung batu memiliki fungsi hidrologi yang sangat vital sebagai resapan air. Hilangnya gunung batu menyebabkan krisis air bagi wargasetempat dan resiko tanah longsor. Hampir seluruh pulau Timor dinaungi jajaran pegunungan batu yang secara evolutif merupakan bentukan alam yangpaling sesuai untuk ekosistem setempat. Tindakan Bupati yang tanpa didasari analisis ilmiah mendalam akan memusnahkan gunung-gunung batu tersebut. Sudah pasti keseimbangan alam yang terbentuk lewat proses evolutif ribuan tahun akan terganggu dan akan beresiko menimbulkan bencana. Pada akhirnya, rakyat yang bermukim di sekitar lokasi tambangakan menanggung kesengsaraan, bukan Bupati, Kapolres, apalagi pengusaha.
Kasus ini sekali lagi membuktikan bahwa pertambangan skala besar dan pemerintah kerap menggunakan cara-cara kotor untuk memaksakan pertambangan beroperasi, sehingga memicu konflik horisontal. JATAM mengecam tindakan Bupati TTS mengeluarkan banyak ijin Kuasa Pertambangan yang memicu konfliksosial dan beresiko tinggi bagi keselamatan rakyat dan lingkungan. JATAM menuntut aparat pemerintah dan keamanan berhenti melindungi perusahaan dan segera memperhatikan masalah warga. Kabupaten TTS terbukti tidak menegakkan citra pemerintah yang bersih (Good governance) sehingga tak hanya beresiko bagi keselamatan rakyat setempat tetapi juga terhadap keamanan investasi. Pendekatan kekerasan di semua lokasi pertambangan skala besar terbukti menghasilkan konflik sosial berkepanjangan dan mengakibatkan biaya sosial yang tinggi bagi perusahaan.

Catatan :Alamat PT Teja Sekawan (Marmer Division): Showroom di JL. Indragiri 52Surabaya - Jawa Timur, Telp. 031 5614172 - 5673388, Fax : 031 5664692.Pabrik di Jl. Raya Tropodo 126C Tropodo - Waru - Sidoarjo - Jawa Timur,Telp. 031 8665801 8665802.
Kontak Media: Luluk Uliyah (
o-manager@jatam.org, 021-7941559, 08159480246)
Membaca Kritis Konflik Tambang
Oleh; Kelik Ismunandar
[1]

Pengantar
Rencana PT Teja Sekawan Surabaya melakukan penambangan batu marmer di Faut Lik dan Fatu Ob Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tanggal 25 Agustus 2006 mendapat penolakan dari masyarakat adat Desa Kuanoel. Ada beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi penolakan warga tersebut diantaranya; terkait dengan masalah administrative (ijin penambangan dari Pemerintah Daerah), ekonomis (persoalan jual beli tanah), politis (tidak dilibatkannya masyarakat adat dalam rencana penambangan), hak masyarakat (akses terhadap air, pangan, kesehatan), ekologis (keruskan lingkungan) sampai dengan masalah adat (pandangan masyarakat).

Kasus (baca; konflik) antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pengusaha terkait dengan masalah pertambangan telah terjadi berulang kali di daerah ini. Konflik yang terus menerus muncul ini berawal dari rencana Pemerintah Daerah yang akan melakukan usaha pertambangan (khususnya batu marmer) di Molo yang memiliki kandungan marmer cukup besar. Dari berbagai catatan yang ada, telah terjadi kurang lebih 12 kasus di wilayah ini terkait dengan usaha penambangan.

Rencana Pemerintah Daerah melakukan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari paradigma pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianut oleh Pemerintah. Dengan paradigma ini Pemerintah berpandangan bahwa segala kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dipandang sebagai modal yang akan menambah pendapatan negara/ daerah.

Disisi yang lain, rakyat berpandangan bahwa berbagai pertambangan yang dilakukan, tidak cukup memberi kontribusi yang signifikan terhadap perubahan nasib rakyat. Berbagai dampak negative dari usaha-usaha pertambangan lebih dominant diterima/ dirasakan oleh rakyat seperti; kemiskinan yang tetap saja terjadi, kerusakan lingkungan yang berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem sampai dengan terancamnya hak-hak rakyat atas air, pangan dan kesehatan.

Berangkat dari dua pandangan inilah konflik antara rakyat vs Pemerintah-Pengusaha terus saja terjadi dalam berbagai bentuknya. Rakyat selalu dalam pihak yang kalah atau dikalahkan ketika berhadapan dengan pengusaha (pemilik modal) dengan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penentangan. Penangkapan, pemenjaraan adalah satu hal yang biasa terjadi dalam kasus-kasus tambang.

Awal Konflik
Kasus yang saat ini sedang dialami oleh warga desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan mirip (memiliki ciri yang sama) dengan beberapa kasus pertambangan yang selama ini terjadi. Mirip maksud penulis disini terkait dengan cara-cara Pemerintah dan pengusaha untuk memperlancar usaha pertambangan ketika harus berhadapan dengan rakyat. Proses penyerobotan tanah, intimidasi/ terror, kriminilasasi, penggunaan aparat keamanan, pemberian janji-janji kepada masyarakat adalah beberapa contoh yang penulis maksud.

Dalam kasus yang terjadi di wilayah ini, penolakan warga diawali dari pengakuan pihak perusahaan yang telah melakukan proses ganti rugi kepada para pemilik tanah melalui Amaf. Disisi yang lain, warga yang memiliki tanah disekitar pertambangan (kurang lebih 103 Kepala Keluarga) tidak pernah merasa menjual tanahnya kepada siapapun.

Alasan lain yang digunakan oleh perusahaan adalah telah dimilikinya ijin penambangan dari Bupati, berupa Surat Keputusan (SK) Bupati Timor Tengah Selatan yang telah memberi ijin kepada perusahaan untuk melakukan penambangan. Pemberian ijin ini setidaknya disampaikan oleh perusahaan ketika menghadapi penolakan warga beberapa waktu lalu.

Jika kita lihat lebih jauh lagi, penolakan warga terhadap usaha-usahan pertambangan yang dilakukan di wilayah itu tidak hanya disebabkan oleh dua hal tersebut diatas. Ada kesadaran kritis yang dimiliki oleh warga dalam melihat efek dari usaha pertambangan yang akan dilakukan terhadap proses keseimbangan alam. Bagi masyarakat di wilayah Molo, batu (marmer) memiliki nilai yang sangat tinggi dalam menjamin kelangsungan hidup untuk ketersediaan air, tidak saja bagi masyarakat di wilayah itu namun juga untuk masyarakat di NTT secara keseluruhan.

Secara ekologis, posisi/ letak batu yang berada di puncak gunung merupakan salah satu wilayah tangkapan dan tendon air yang baik disamping hutan. Sebagai wilayah tangkapan air, Batu di wilayah Molo meruapakan sumber air (hulu) bagi sungai besar di Provinsi NTT yaitu Benenain dan Noelmina yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat. Jika batu ini ditambang/ dirusak maka keseimbangan ekologis, khususnya dalam ketersediaan air bagi masyarakat akan sangat terganggu apalagi wilayah NTT merupakan salah satu daerah yang selalu mengalami kekeringan setiap tahunnya.

Disamping alasan yang bersifat ekologis ada pula alasan yang didasarkan pada kultur/ kebudayaan masyarakat setempat. Batu yang sering mereka sebut Faot Kanaf memiliki hubungan langsung dengan sejarah enam belas marga masyarakat Molo yang tersebar di daratan pulau Timor. Hal inilah yang menentukan identitas masyarakat Molo, sehingga masyarakat tidak pernah mengenal istilah marmer untuk ditambang namun masyarakat mengenal batu yang telah menghidupi masyarakat selama ini.

Atas dasar beberapa alasan tersebut, konflik yang saat ini terjadi di Desa Kuanoel menemukan muaranya. Penolakan keras yang dilakukan masyarakat adat tidak hanya menyangkut nasib yang akan mereka alami secara langsung berupa penggusuran namun masyarakat adat telah memikirkan keselamatan dan kelangsungan hidup yang lebih besar yaitu masyarakat NTT.

Membangun Solidaritas
Sejauh pengamatan yang dilakukan penulis, respon masyarakat di luar desa Kuanoe terhadap kasus ini masih sangat rendah. Belum nampak dukungan yang dilakukan masyarakat (pihak luar) untuk melakukan penolakan tambang, padahal seperti kita ketahui bersama penolakan warga didasarkan pada keselamatan banyak pihak (masyarakat Provinsi NTT) terkait dengan ketersediaan air.

Kegagalan masyarakat desa Kuanoe menghentikan pertambangan akan berakibat sangat besar bagi masyarakat NTT secara keseluruhan. Tidak saja terkait dengan masalah ketersediaan air, tapi juga proses kerusakan alam (lingkungan), bahaya banjir, kekeringan, kekurangan pangan dsb yang akan dialami oleh masyarakat dengan melihat fungsi ekologis batu disini.

Perjuangan dan penolakan yang dilakukan oleh warga desa Kuanoe terhadap usaha pertambangan saat ini, tidak bisa dibiarkan sendirian. Penggalangan solidaritas harus mulai dilakukan dengan memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat di luar desa Kuanoe, membangun jaringan antar organisasi masyarakat sipil termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Organisasi Keagamaan dsb untuk memberikan dukungan secara nyata.

Belajar dari pengalaman yang lalu, kekalahan masyarakat dalam melakukan penolakan tambang, salah satunya adalah rendahnya solidaritas/ dukungan masyarakat. Solidaritas ini pula yang telah memberi pelajaran baik keberhasilan rakyat menolak PT. Karya Asta Alam yang akan melakukan penambangan batu Nausus dan Anjaf pada tahu 2000. Masyarakat yang berasal dari sebelas desa secara bersama-sama menduduki dan menolak pertambangan yang pada akhirnya berhasil mendesak Gubernur NTT, Piet A Tallo mencabut ijin pertambangan.

Rasa solidaritas dan kebersamaan seperti inilah yang saat ini harus mulai dibangun untuk menolak berbagai usaha tambang yang kurang memperhatikan keamanan, dan keselamatan lingkungan serta yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Jika hal ini tidak dilakukan, penderitaan dan kesengsaraan akan segara menyambut kita. Jika ini terjadi siapa yang paling dirugikan, rakyat khan?

[1] Penulis; Manager Advokasi dan Pengembangan Isu Perkumpulan PIKUL di NTT

Situasi per 25 September 2006

Situasi Terakhir Desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi Kab. TTS
Per 25 September 2006

1. Share Situasi Terakhir
Share situasi terakhir disampaikan oleh Theos (Lulbas Fatumnasi) dan Bpk Yohanes Almet (Pendeta Fatumnasi) berdasarkan situasi sampai dengan tanggal 20 September 2006. Berikut perkembangan terakhir dilapangan;


A. Posisi Perusahaan

  • Setelah kunjungan dilakukan oleh kawan-kawan Pikul, Sinode, LMND, OAT dan LBH Timor pada hari Sabtu-Minggu, 9-10 September 2006 alat-alat berat yang berupa excavator,truck besar (FUSO) dan alat-alat pertambangan masih berada dan terus masuk ke desa Kuanoel.
  • Excavator perlahan-lahan terus masuk kedalam di lokasi tambang[1] yang dilakukan pada pagi dini hari (kira-kira pukul 02.00 – 03.00 WITA) dengan menggunakan titik paling lemah manusia yaitu pada saat penduduk masih tertidur.
  • Alasan yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk terus masuk ke lokasi pertambangan adalah hanya akan mengambil air dan tidak akan melakukan penambangan
    Ibu-ibu di desa Kuanoel masih terus melakukan perlawanan terhadap masuknya alat-alat berat di desa mereka. Dalam hal ini sempat terjadi adu mulut antara para Ibu-ibu dan pihak perusahaan (hanya diwakili karyawan bukan pemilik perusahaan secara langsung). Pihak perusahaan memberi jawaban agar penduduk bicara secara langsung dengan Bupati karena ijin pertambangan telah diberikan.[2]
  • Pihak perusahaan mencoba mengintimidasi dan mempengaruhi masyarakat dengan menggunakan kasus pembangunan Gereja di desa Fatumnasi.[3] Dalam hal ini pihak perusahaan menjanjikan untuk melunasi seluruh kekurangan uang pembangunan asal masyarakat memberi ijin penambangan
  • Pihak perusahaan masih menggunakan taktik pecah belah antar warga dengan memberi fasilitas dan janji-janji kepada sebagian warga (khusus di desa Fatumnasi) yang bisa mendukung pihak perusahaan. Fasilitas dan janji yang diberikan kepada pihak perusahaan kepada sebagian masyarakat diantaranya adalah mengundang beberapa orang dari Fatumnasi untuk pergi ke Surabaya (dengan berbagai fasilitas yang disediakan) agar mendukung perusahaan. Namun demikian jumlah orang yang mampu dipengaruhi oleh perusahaan tidak cukup banyak.

    B. Intimidasi Aparat
  • Setelah kunjungan kawan-kawan pada tanggal 9-10 September 2006, masyarakat telah didatangi aparat keamanan (TNI-Polri) yang berpakaian preman (bukan seragam) dan bersenjata (baca; alat jahat) beberapa kali. Pihak aparat keamanan menekan masyarakat untuk tidak melakukan demo serta menolak ajakan/ keterlibatan dari orang diluar Molo
  • Disamping dari pihak aparat keamanan, intimidasi/ terror dan diskriminasi kepada masyarakat juga dilakukan oleh aparat desa yaitu Camat dan Kantor Catatan Sipil. Berdasarkan informasi yang disampaikan Bpk. Yohanes Almet pihak Kecamatan maupun catatan sipil tidak akan memberi dan mempersulit masyarakat untuk mendapatkan surat-surat maupun perijinan[4] kepada masyarakat yang terlibat penolakan tambang.

    C. Kondisi Masyarakat
  • Pada saat ini, tingkat perlawanan masyarakat adat (khususnya desa Kuanoel dan Fatumnasi) masih cukup kuat. Untuk menyikapi perusahaan yang beroperasi pagi dini hari maka para tokoh adat/ lokal meminta agar masyarakat tetap keluar rumah jam berapapun ketika mendengar excavator dihidupkan dan masyarakat menyetujuinya
  • Rasa solidaritas dan keresahan[5] sudah mulai muncul dari beberapa warga desa di luar desa Kuanoel dan Fatumnasi. Beberapa desa yang telah menyatakan dukungannya antaralain; desa Bijel, Tutem, Laob, Tobu, Sabot, Bosen, Bijay Punu, Netpala dan masih ada beberapa desa yang lain. Sebagai salah satu bentuk dukungan dan solidaritas yang diberikan, warga desa yang berada dibawah menunggu undangan dari para tokoh desa Kuanoel dan Fatumnasi untuk melakukan koordinasi bersama. [6]
  • Pihak Gereja (khususnya Pendeta) telah memberikan dukungan secara langsung kepada masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap perushaan tambang. Dukungan dari Pendeta terhadap perjuangan masyarakat tidak terlepas dari sikap yang telah diambil oleh Sinode yang menyatakan sikap;
    1. Melarang penggunaan Gereja oleh pihak perusahaan maupun pihak manapun untuk memperlancar penambangan di seluruh wilayah Molo
    2. Pihak Gereja akan menolak seluruh bantuan yang berasal dari usaha pertambangan yang telah terbukti merugikan rakyat dan merusak ekologis
  • Anak-anak muda belum terlibat secara maksimal sehingga perlu membangkitkan semangat mereka untuk terlibat dengan Bapak-bapak/ Mama-mama yang saat ini sedang melakukan penolakan

[1] Pada saat kunjungan tanggal 9-10 September 2006, posisi excavator masih berada di pinggir jalan
[2] Sampai dengan laporan ini dibuat tanggal 25 September 2006, informasi mengenai SK Bupati TTS yang memberi ijin Pertambangan kepada PT. Teja Sekawan Surabaya belum diperoleh buktinya
[3] Pada saat ini masyarakat adat Fatumnasi sedang berselisih dengan salah seoarang investor yang membangun gereja di desa Fatumnasi. Persoalan berawal dari permintaan investor kepada masyarakat untuk segera melunasi kekurangan biaya sebesar kurang lebih 28 juta namun masyarakat menolak karena dalam proses pengerjaannya tidak sesuai dengan gambar yang telah disetujui kedua belah pihak. Disamping pengerjaan tidak sesuai dengan rencana ada beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh investor terhadap bahan-bahan bangunan. Dalam hal ini masyarakat tetap bersedia membayar kekurangan biaya sebesar 28 juta (uang tersebut juga ada) asal pembangunan sesuai dengan rencana dalam gambar. Menurut pendapat saya pribadi (Kelik Ismunandar) pihak developer telah melakukan penipuan kepada masyarakat adat yang lugu, jujur dan polos tersebut. Keluguan dan kepolosan masyarakat adat telah dimanfaatkan oleh developer untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat adat Fatumnasi.
[4] Satu contoh kasus adalah dipersulitnya ijin perkawinan dari kantor catatan sipil kepada salah seorang warga dengan alasan yang tidak masuk akal yaitu terburu-buru akan pergi ke Jakarta. Pada saat yang bersamaan ada salah seorang warga (pendukung perusahaan) yang sedang mengurus proses yang sama memperoleh surat dengan sangat mudah
[5] Keresahan dan solidaritas dari warga diluar desa Kuanoel dan Fatumnasi didasarkan pada kesadaran ekologis yang mereka miliki yaitu jika batu jadi ditambang maka warga desa yang berada dibawah akan mengalami bencana yang berupa pencemaran dan kekurangan air. Menurut pendapat beberapa warga yang dibawah,”Jika batu jadi ditambang maka Kami warga yang ada dibawah akan menerima akibatnya yang berupa pencemaran dan kesulitan air. Untuk kalian (warga yang diatas) mungkin tidak akan kesulitan air karena sumber air berada disana”.
[6] Dalam waktu dekat para tokoh adat Kuanoel dan Fatumnasi akan menggelar upacara adat Okumama yang akan mengundang para tokoh-tokoh adat yang berasal dari beberapa desa yang ada dibawah

Situasi per 15 September 2006

Situasi Terakhir Desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi Kab. TTS
Per 15 September 2006

Hasil Pertemuan membahas tentang situasi terakhir kondisi lapangan, membicarakan kebutuhan masyarakat dan apa yang bias dilakukan untuk merespon kebutuhan masyarakat. Pertemuan awal telah dihadiri oleh; Pikul, CIS, Sinode, Rumah Perempuan dan LMND. Berikut adalah hasil pembahasan kawan-kawan;

Kondisi Lapangan
Ada dua kondisi yang dibaca kawan-kawan terkait dengan keberadaan excavator (PT Teja Sekawan) dan kondisi rakyat. Berikut laporannya;

PT. Teja Sekawan
  • Sampai saat ini excavator masih berada di lokasi (bibir batu) yang siap untuk beroperasi
  • Beberapa kali pihak perusahaan menggunakan waktu-waktu yang kosong (ketika Bapak-bapak di ladang) untuk memulai penambangan
  • Beberapa preman bayaran yang berasal dari SOE/ desa lain masih setia menjaga excavator
  • Beberapa pekerja sudah mulai berdatangan di lokasi pertambangan dan sudah melakukan doa bersama sebelum mulai bekerja
  • Aparat keamanan masih sering datang di lokasi pertambangan dan masyarakat untuk melakukan intimidasi

    Situasi Rakyat
  • Kesadaran rakyat untuk melakukan penolakan tambang sangat tinggi khususnya di pimpin oleh tiga orang Mamak. Meskipun demikian patronase terhadap pihak luar (Ma’ Letta) masih sangat tinggi
  • Anak-anak muda desa setempat belum terlibat secara aktiv untuk bersama-sama Pa-pa/ Mama-mama yang melakukan penolakan
  • Kasus yang saat ini dihadapi oleh masyarakat adapt desa Kuanoel belum mampu mendorong rasa solidaritas warga desa yang lain maupun masyarakat NTT secara keseluruhan
  • Pada saat ini adalah masa tanam bagi masyarakat sekitar sehingga pada pagi sampai sore desa dalam keadaan kosong yang tinggal cuma Mama-mama
  • Ada kecurigaan antar masyarakat yang cukup tinggi karena pihak perusahaan menggunakan beberapa orang yang sudah mampu di beli/ bayar untuk berpihak kepada perusahaan
  • Pihak perusahaan berhasil mendekati aparat desa (Lurah/ Camat) sehingga satu-satunya lembaga yang masih berpihak pada rakyat adalah Gereja
  • Masih lemahnya keterlibatan/ dukungan dari pihak luar (Ormas/ NGO dll) terhadap kasus yang dihadapi oleh warga desa Kuanoel
  • Ada beberapa persoalan tehnis yang dihadapi oleh OAT sebagai sebuah organisasi yang selama ini melakukan pendampingan terhadap warga
  • Posisi Lulbas yang perlu ditingkatan (baik pemahaman/ kapasitas pengorganiseran) untuk memperkuat pembangunan basis perlawanan.

9.13.2006

Perempuan Perempuan Pemberani

Perjuangan di Kuanoel adalah perjuangan perempuan perempuan pemberani. Saat kami tiba di desa itu, kami disambut oleh kumpulan manusia: tua, muda, perempuan dan laki laki. Namun saat kami duduk bersama, cerita dari para perempuan lah yang berada paling depan menyambut setiap pertanyaan.

Salah satu dari perempuan perempuan pemberani itu adalah Ibu Lodia Oematan, perempuan berusia 39 tahun, warga desa Fatumnasi, yang dalam pertemuannya dengan aparat negara tanggal 25 Agustus lalu[1] tak segan-segan menyatakan protes dengan mengajarkan pada mereka secara keras bahwa perbuatan mereka melindungi penjarah batu adalah tindakan manusia manusia yang lupa bahwa mereka pernah dibesarkan oleh air susu ibu. Sebab Yahya Selan, Kapolsek Molo Utara yang saat itu hadir bersama pengusaha, telah membenarkan klaim pengusaha bahwa usaha mereka menambang Fatu Lik dan Fatu Ob adalah sah sebab mereka telah membayar. Menurut isi kepala Yahya, sebagaimana isi kepala pengusaha, Fatu Lik dan Fatu Ob tidak lebih dari batu, yang bisa dijual, dipindah tangankan. Atau tidak lebih dari bahan baku yang harus segera dipotong kotak untuk kemudian dijual ke Surabaya.

Namun bagi Lodia, Fatu Lik dan Fatu Ob adalah bagian dari suatu sumber kehidupan pulau bernama Molo, yang selama berabad-abad telah menjaga Nifu-Ob dan jaringan panjang sumber air lainnya untuk terus menghidupi seluruh warga Pulau Timor, termasuk aparat negara yang saat itu berdiri sok gagah di hadapannya, lengkap dengan senjata.

Pengetahuan luhur inilah yang membuat kaki Lodia tetap tegak dan suaranya tetap lantang mengusir pekerja-pekerja PT Teja Sekawan beserta alat beratnya yang telah mulai merusak Fatu Ob dan Nifu Ob, keluar dari Kuanoel. Sampai dengan pertemuan Sabtu 9 September lalu, Lodia tetap menyatakan kesediaan dan keberaniannya untuk berada paling depan dalam barisan pembela Fatu Lik dan Fatu Ob.

Selain Lodia, ada Ibu Ety Anone, perempuan pemilik tanah yang awalnya hendak dijadikan lintasan excavator mendekati Fatu Ob. Sejak alat berat itu merusak pagar dan lahan pekarangannya (24/8) sampai saat ini, ketika excavator sudah pindah dan diparkir di pekarangan Ibu Yosina, ia tetap lantang menyuarakan protes. Ia tak peduli ketika anggota Babinsa menegurnya dengan mengatakan,”Pekarangan itu adalah hak Mama Yosina!” Ia bahkan membalas,”Kamu yang harus berhenti merusak kami punya batu!!” dan kepada kami teriakan yang sama dititipkan sebagai seruan kepada pengelola negara. Sebab ia dan seluruh warga Kuanoel yang saat itu hadir dalam pertemuan (9/9) telah tahu berita perjuangan mereka telah disebarluaskan dan pernyataan-pernyataan sikap yang mendukung perjuangan mereka telah mendatangi meja-meja birokrat.

Maka jika saat ini, anda atau lembaga anda belum memutuskan untuk bersikap, bergegaslah! Dukung perempuan perempuan pemberani dari Kuanoel ini menghentikan penjarahan atas tanah air mereka!!



[1] Lihat kronologi

9.10.2006

Fautlik Chronology - English version

STOP THE LOOTING OF TANAH MOLLO!

Invitation to Solidarity Support

Again, a Mining Excavator Seizes the People’s Land!


An Account of Events

Location of Events : Fatu Ob / Faut Lik Kuanoel Village, Fatumnasi Sub-district,

South Central Timor District (TTS)

Perpetrators : 1. Employees of PT. Teja Sekawan
: 2. Chief of Police North Mollo, Iptu Yahya Selan
: 3. Head of Fatumnasi Sub-district, Lamber Oematan, BA
: 4. Fatumnasi Village Guidance Officers (babinsa)
: 5. Civil Servant Staff from TTS District government (TTS Board to Control Impacts on the Environment at the District Level)

Victims : The Anone family and land owners of Kuanoel Village, Fatumnasi Sub-district

On Thursday, 24 August 2006 at about 11.00 in the morning, workers of PT. Teja Sekawan Surabaya, a company that intends to mine the marble rocks, Faut Lik and Fatu Ob in Kuanoel Village, guarded by police, army soldiers, civil servants and thugs paid by the company, unilaterally used an excavator to tear down the fence of the garden owned by Ety Anone and Yustus Tunis. It then forced the opening of a road on the land of Ety Anone, and succeeded in digging up five metres of the land.

Ety Anone herself opposed this action and stubbornly ordered the excavator used by company employees and guarded by security forces to immediately stop its work and leave. About 30 grade school students who had just begun school watched a verbal “war” between company supporters and Ety Anone that lasted for two hours. This ended only when Ety Anone, ready to do anything, climbed up on the front part of the excavator and sat on top of the excavator’s scoop risking death because the workers and security forces accompanying them obviously did not honor her complaints for them to stop the work.

The company and security supports only left the site when it became crowded as more villages arrived on their way home from the Village office where they had been waiting in line since morning to collect their portions of rice for the poor. They too were surprised by what had happened because this forced action had been carefully planned so that the excavator would come when all the villagers were away from the location, especially those whose houses were located around the site.

On Friday, 25 August 2006, a group from the company and security forces supporting them returned to the location with the purpose to continue making the road. They arrived with two men from Lilana Village, Fatumnasi Sub-district, Nikanor Bay and Sius Anone. These two people who were each paid 1 million rupiah (about US$110) by the company to insure their support for building the road on this piece of land were pitted against the group supporting Ety Anone.

This event was clearly intended to divide the people. Sius is a close member of Ety Anone’s family, yet the land in question is clearly owned by Ety Anone. The mining company for some time has tried to pay Ety Anone to release her land to them, but the Anone family (Ety Anone) does not agree so that the company, with assistance from local security forces, sought another way by approaching close members of the family who could be paid and supposedly speak on behalf of the Anone family to release the land to the mining company.

This was clear from the attitude put forward during this event when the pro-company side said to the supporters of Ety Anone, please deal with those who have already been paid because we want to get to work. This attitude got a strong reaction from the villagers, particularly the women, because they felt so disappointed with the behavior of the pro-company group that, note well, was supported by government forces. The company’s arbitrary actions were strongly opposed by the people. Furthermore, one woman, Lodia Oematan, bared her breast and thrust it in the direction of the forces who were there criticizing them. Full of regret she said, “So you’ll know, hopefully you weren’t born and raised on your mother’s milk.”

The group and their security supporters finally dispersed because there were more and more villagers who arrived to protest. The excavator was simply left at the site, in Ety Anone’s garden.

On Saturday, 26 August 2006, the company group and its security forces returned again to the location, but even more villagers came to the site. There was more verbal warfare, and villagers pressured company workers to immediately take away the excavator, but the pro-company group answered with a new promise that they would remove the excavator on Monday, 28 August 2006.

On Monday, 28 August 2006 103 people who have land around the mining site held a meeting with the investor, the head of Fatumnasi Sub-district, seven police and local villagers leaders. In this meeting an employee of PT. Teja Sekawan, Desti Nope, read an official Decree from the District Head that gave the company permission to engage in Class C mining. They also made efforts to convince the villagers to accept the mining. Then they asked the land owners if they wanted to release their land, but all of the land owners said they were not willing to release their land because according to them they own no alternative fields they can farm, while as farmers they hang their hopes of life on the land they own.

Because he did not get support from the land owners, the investor answered emotionally saying the company had already obtained permission from the TTS District government and therefore, although the villagers did not agree to hand over their land, the investor would continue to work. “I have already received permission from the District Head to mine, so although you men do not agree, tomorrow I will continue to work,” said the investor. Hearing the investor’s statement, the villagers immediately attacked with a hale of angry and complaining voices so that the police intervened in the meeting and broke up the crowd.

In this meeting, security forces, through Yahya Selan, also threatened several villagers saying those who did not agree to hand over their land would be processed by the law.

At the time we are sharing this information with you, Sirs/Madams/brothers/sisters, the people around the site are still disturbed because there is constant intervention and intimidation by those under the orders of the company, including security forces. The situation is very susceptible to conflict, both conflict among villagers as well as villagers with security forces and the investor’s group.

The Process of People's Action

29-30 August: People's action at the TTS Parliament

103 heads of households from Fatumnasi Village, accompanied by members of A’Taimamus Organisation (OAT), Timor Legal Aid Foundation (LBH Timor,[1] Center for People’s Information and Advocacy (PIAR)[2] and Forum for People’s Defense (FPR)[3] met with members of the TTS District Parliament who were holding a plenary session. Complaints by the people were one item on the agenda for this meeting so that the people were given an opportunity to explain the chronology of the problem that they call the seizing of the people’s land by perpetrators from the mining industry. After getting an explanation and chronology of the case, members of the TTS District Parliament were willing to do direct observation in the field after their session was over (11 September 2006).

Besides details of the problem that have been written in the chronological account (above), one villager who lives in the area around Fautlik, named Agustinus Luli, has also experienced an act of terror by Yusak Oematan and chief of the sub-district police who threatened that he would be processed by the police. However, according to Luli’s account, he was sought by Yusak and the police to be beaten because he is one of the villagers who intends to contest the selling of the rock by Yusak and his friends.

The problem experienced by Agustinus Luli is certainly part of the problem related to the selling of Fautlik rock along with 50 hectares of land by Yusak Oematan, Lambert Oematan, Nikanor Fau[4] and Yustus Tanu (Yustus is from Tunua Village, Fatumnasi Sub-district). Although they do not own land around Fautlik, these four men have signed a letter selling Fautlik and 50 hectares of land to the mining industry perpetratros, in this case PT Teja Sekawan, who then used the letter as proof of sale and the Decree by the District Head as justification for seizing the land owned by Ety Anone. Meanwhile the 103 household heads that live around Fautlik and work the land around it knew nothing. They were shocked when the land farmed by Ety Anone’s family was ruined by the excavator owned by the company to become an access road to the mining area. These 103 household heads plan to contest the actions of the four men who sold the rock and land because they actually have no rights whatsoever to what they sold. Although these 103 housholed are not supported by land certificates, they nevetheless have worked this land for several generations; these are the only fields off which they live. At the time it was damaged, this land was being farmed with food crops owned by the people.

31 August 2006: Action by women's group who occupy the excavator

PT. Teja Sekawan returned to use the tactic of dividing the people to make space for their efforts. This time the company promised to install electricity for Mama Kase, a widow who lives by herself and who then gave permission for her land to be worked to become the access road for the miners. The land owned by Mama Yosina includes that closest to Fautlik, the rock that is to be mined. This woman’s house is used as a protected place by the miners; if they are approached by the people they will choose to run into Mama Yosina’s house.

Since the people’s action at the TTS District Parliament, the excavator owned by PT Teja Sekawan is still being used for work. The digging of land to make an access road has already ruined land and rocks up to + 10 metres. Not only that, digging by the excavator has ruined a spring of natural spring located by the side of the road.

Seeing this damage, the people decided to carry out a protest action at the mining location. A group of women took the initiative to have a sit-in in front of the excavator to obstruct its path. This women’s group was coordinated by Mrs. Ety Anone (the victim of the land seizure on 25/8/06), Mrs. Lodia and Mrs. Elisabeth Oematan. Ety Anone and Elisabeth Oematan are residents of Kuanoel Village, Fatumnasi Sub-district, and Mrs. Lodia is a resident of Fatumnasi Village, Fatumnasi Sub-district.

5 September 2006: Broadening of Resistance

Clearly, after four days of carrying out their action, the women’s group were still unable to stop the work of PT Teja Sekawan that was ruining the land and rocks because the workers would return to work when the women doing the protest returned to their homes. They took advantage of the women’s faithfulness to their domestic roles as the time to continue their looting!

PT Teja Sekawan workers were stubbornly determined to keep working because they felt supported by the District Head’s Decree that they had read to the people. In fact, as a public document, the District Head’s Decree has never been physically seen, either by the people or by the organizations accompanying them so the truth of whether there is such a Decree by the District Head has not yet been proved.

At this time, the TTS District Head, Drs.Daniel Banunaek, is in Germany so that the people must wait until he returns on 9 September 2006 to confirm the truth of this decree and at the same time request the government to take responsibility for it.

6 September 2006

The attitude of PT Teja Sekawan that is determined to continue making an access road for the mining has given rise to restlessness among the people. Nevertheless they continue to carry out their actions. Today the group of women are demonstrating at the mining site, directly confronting the workers of PT Teja Sekawan.

The company clearly intends to continue intimidating the people and bait their anger, especially the men. However, intimidation, provocation and summons by the police are nothing new to the people of Mollo. Since their land has been pawned [confiscated?] by the district government for the mining industry, they have had their fill with the rotten coalition of the entrepreneur and officials such as this.

At this time the people are focusing their attention on continuing to carry out actions of rejection and making efforts to stop the excavator from working.

Plans for the future

  • actions by the people at the mining site
  • critical discussions
  • actions by the people and NGOs at the District Parliament
  • press conference – to gain support through local-national media coverage
  • updates regarding the resistance process to be posted online at http://rakyatmollo.blogspot.com

Needed: Solidarity from the Resistance Network!
  • Petition Support

First, you/your organization can help the resistance action of the people of Mollo by signing the petition below and distributing it for the signatures by many other people!

  • Logistics Support for Resistance Actions

Another form of solidarity you/your organization can provide is in the form of financial support for the logistics of resistance actions by the people of Mollo. At this time, to organize the people, funds are very needed for the costs of communication and transportation whereas the people support themselves by covering consumption costs for participants of protest actions.

Financial support can be sent to the account of The A’Toimamus Organisation (OAT):

Bank BNI 46 Cabang Kupang in the name of Aleta Baun

Account No. 00-44-78-30-91

Accountability for the use of collected funds will be shared in weekly reports online at http://rakyatmollo.blogspot.com

To facilitate accountability, it is hoped financial support for logistic expenses related to resistance actions will be received before 6 October 2006.

For your support for the resistance actions of the people of Mollo, we, as an organisation that works and protests together with the people of Mollo, say thank you.

Peace in the struggle,

Aleta Baun

A’Taimamus Organisation (OAT)



[1] John Ola and Sammy Sanam.

[2] Arifin and Eliaser (only Eliaser attended the meeting with the District Parliament).

[3] FPR is managed by a former member of the TTS District Youth Forum (Forda TTS), a local advocacy group.3
[4]
This is not a new person for OAT. He confessed he did not know what he signed.

9.07.2006

Ditunggu: Pernyataan Sikap

Pernyataan Sikap dukungan atas aksi perlawanan rakyat Molo dapat dikirimkan (faximile) ke alamat-alamat berikut:

Bupati TTS no. 0388-21137
DPRD TTS no. 0388-21365
Kapolres TTS no. 0388-21400

Tembusan ditujukan pada:

Gubernur NTT no. 0380-821520
DPRD NTT no. 0380-829453
Kapolda NTT no. 0380-821544
Ombudsman NTT no.0380-839367

9.06.2006

Proses Perlawanan: 6 September 2006

Sikap PT Teja Sekawan yang bersikeras melanjutkan pembukaan jalan tambang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Meski begitu mereka tetap melaksanakan aksi. Kelompok perempuan hari ini melakukan demonstrasi di lokasi tambang, berhadapan langsung dengan para pekerja PT Teja Sekawan.

Pihak perusahaan jelas sengaja untuk terus mengintimidasi rakyat dan memancing kemarahan, khususnya pada kelompok laki-laki. Namun intimidasi, provokasi dan surat panggilan polisi sudah bukan hal baru bagi rakyat Molo. Sejak tanah mereka digadaikan oleh pemerintah daerah untuk industri tambang, mereka sudah kenyang dengan aksi koalisi buruk pengusaha dan aparat seperti itu.

Saat ini yang menjadi fokus perhatian rakyat adalah terus melakukan aksi penolakan dan mengupayakan excavator berhenti bekerja.

Proses Perlawanan: 5 September 2006

Ternyata, setelah 4 hari melakukan aksi, kelompok perempuan tetap tak dapat menghentikan kerja perusakan tanah dan batu oleh PT Teja Sekawan, karena para pekerja kembali bekerja ketika ibu-ibu yang melakukan aksi kembali ke rumah masing-masing. Mereka memanfaatkan kesetiaan perempuan pada peran domestiknya sebagai celah untuk meneruskan penjarahan!

Pekerja PT Teja Sekawan bersikeras untuk tetap bekerja karena merasa dikuatkan oleh SK Bupati yang pernah mereka bacakan di hadapan masyarakat. Padahal sebagai dokumen publik, SK Bupati itu belum pernah dilihat bentuk fisiknya, baik oleh masyarakat maupun oleh organisasi-organisasi pendamping. Sehingga kebenaran adanya SK Bupati itu belum bisa dibuktikan.

Saat ini Bupati TTS, Drs.Daniel Banunaek berada di Jerman. untuk bisa mengkonfirmasi kebenaran adanya SK tersebut, sekaligus meminta pertanggungjawaban pemerintah, rakyat harus menunggu hingga bupati kembali tanggal 9 September 2006.

Proses Perlawanan: 31 Agustus 2006

PT. Teja Sekawan kembali menggunakan taktik adu domba masyarakat guna melapangkan usahanya. Kali ini PT menjanjikan pemasangan instalasi listrik kepada Mama Kase, seorang janda yang tinggal sendiri, yang kemudian mengijinkan tanahnya untuk dikerjakan menjadi jalan masuk tambang. Tanah milik Mama Kase ini termasuk yang paling dekat dengan Fautlik, batu yang akan ditambang. Karenanya rumah ibu ini pun digunakan sebagai tempat berlindung oleh para pekerja tambang. Meski jika didatangi masyarakat mereka akan memilih lari.

Sejak aksi rakyat di DPRD TTS, excavator milik PT Teja Sekawan tetap digunakan untuk bekerja. Penggalian tanah untuk pembuatan jalan masuk ke lokasi tambang telah merusak tanah dan batuan sejauh ± 10m. Dan tidak hanya itu, penggalian excavator juga merusak salah satu mata air alam yang berada di pinggir jalan.

Melihat kerusakan itu, rakyat memutuskan untuk melakukan aksi di lokasi tambang. Kelompok perempuan mengambil inisiatif untuk melakukan aksi duduk di depan excavator untuk menghalangi jalannya. Kelompok perempuan ini dikoordinir oleh Ibu Ety Anone (korban penyerobotan tanah 25/8/06), Ibu Lodia dan Ibu Elisabeth Oematan. Ketiganya adalah warga Fatumnasi.

Proses Perlawanan: 29 Agustus 2006

Masyarakat Desa Fatumnasi 103 kk didampingi oleh OAT, LBH TIMOR[1], PIAR[2] dan FPR[3] menemui anggota DPRD TTS yang sedang mengikuti rapat paripurna. Pengaduan oleh masyarakat menjadi salah satu agenda dalam rapat tersebut, sehingga masyarakat diberi kesempatan untuk menjelaskan kronologi persoalan yang oleh masyarakat disebut sebagai penyerobotan tanah rakyat oleh pelaku industri tambang. Setelah mendapat penjelasan dan salinan kronologi kasus, anggota DPRD TTS menyanggupi untuk melakukan peninjauan di lapangan setelah rapat paripurna berakhir (11 September 2006).

Selain detail persoalan yang tertulis dalam lembar kronologi (di atas) salah satu warga yang berdomisili di sekitar Fautlik, bernama Agustinus Luli, juga mengalami tindakan teror yang dilakukan oleh Yusak Oematan dan anggota Polsek. Luli diancam akan diproses oleh Polsek. Padahal menurut pengangkuan Luli, ia lah yang dicari-cari oleh Yusak bersama aparat untuk dipukuli, karena ia adalah salah satu dari kelompok warga yang berniat menggugat penjualan batu oleh Yusak dkk.

Persoalan yang dialami Agustinus Luli memang bagian dari persoalan penjualan batu Fautlik serta tanah seluas 50Ha oleh Yusak Oematan, Lambert Oematan, Nikanor Fau[4] dan Yustus Tanu (warga Tunua). Meski tidak memiliki tanah di sekitar Fautlik, keempat orang ini telah menandatangani surat penjualan Fautlik dan tanah seluas 50Ha kepada pelaku industri tambang, dalam hal ini PT Teja Sekawan, yang kemudian menggunakan surat bukti penjualan dan SK Bupati sebagai alat pembenar saat melakukan penyerobotan tanah milik Ety Anone. Sedangkan 103 kk yang selama ini berdomisili di sekitar Fautlik dan mengolah tanah di sekitarnya, tidak tahu apa-apa. Mereka baru kaget ketika tanah yang digarap oleh keluarga Ety Anone telah dirusak oleh excavator milik PT untuk dijadikan jalan masuk ke area tambang. Rencananya 103 kk ini akan menggugat ke-4 penjual batu dan tanah, karena mereka sebenarnya tidak punya hak apapun atas apa yang mereka jual. Meski memang tanah yang dimiliki oleh 103 kk itu tidak dikuatkan oleh sertifikat pemilikan hak atas tanah. Namun telah lama dikelola menjadi lahan tanaman pangan karena merupakan satu-satunya lahan penghidupan mereka. Saat dirusak pun, tanah tersebut sedang diolah dan penuh dengan tanaman pangan milik masyarakat.


[1] John Ola dan Sammy Sanam

[2] Arifin dan Eliaser (hanya Eliaser yang mengikuti pertemuan DPRD)

[3] Forum Pembela Rakyat—dikelola oleh salah seorang mantan anggota FORDA-TTS

[4] Bukan orang baru bagi OAT. Ia mengaku tidak tahu surat apa yang ditandatangani saat itu, tetapi siap jika digugat

Uraian Awal Peristiwa

Tempat Peristiwa : Fatu Ob / Faut Lik Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi, Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)

Pelaku : 1. Karyawan PT. Teja Sekawan
: 2. Kapolsek Molo Utara, Iptu Yahya Selan
: 3. Camat Fatumnasi, Lamber Oematan, BA
: 4. Babinsa Fatumnasi
: 5. PNS Staf Pemda TTS (Bapedalda TTS )

Korban : Keluaga Anone dan warga Desa Kuanoel – Fatumnasi pemilik Lahan

Pada hari Kamis 24 Agustus 2006 sekitar pukul 11.00 wita, secara sepihak para Pekerja PT. Teja Sekawan Surabaya, sebuah perusahan yang bermaksud penambangan batu marmer di lokasi Tambang Faut Lik dan Fatu Ob Desa Kuanoel, dikawal oleh anggota Polisi, TNI dan PNS serta preman bayaran perusahaan, menggunakan alat berat (Excavator) membongkar pagar kebun milik Ety Anone dan Yustus Tunis,lalu secara paksa membuka jalan diatas Tanah Ety Anone, sehingga berhasil membuka jalan dengan menabrak atau menggali tanah dengan bantuan excavator sepanjang lima meter

Terhadap peristiwa ini, sempat mendapat perlawanan dari Ety Anone seorang diri dengan bersihkeras meyuruh excavator yang digunakan oleh karyawan PT dan dikawal aparat untuk segera dikeluarkan dan menghentikan pekejaan paksa itu. Perang mulut kelompok pendukung perusahaan dengan Ety Anone seorang diri, terjadi selama 2 jam, ditonton oleh sektar 30-an murid SD yang baru sekolah. Peristiwa ini baru berakhir ketika Ety Anone, nekat menaiki bagian depan excavator dan duduk di atas alat seruduk excavator, dengan maksud ditabrak mati saja, karena para pekerja dan aparat yang mendampingi para pekerja, ternyata tidak mau mengindahkan keluhannya untuk menghentikan pekerjaan.

Kelompok perusahaan dan aparat pendukung baru meninggalkan lokasi, ketika masyarakat semakin ramai berdatangan, saat sepulangnya dari kantor Desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi, yang sejak pagi antri mengambil jatah beras miskin di kantor desa. Meraka juga menjadi kaget dengan peristiwa tersebut, sebab tindakan paksa diskenariokan secara rapi, ketika semua warga tidak ada di kampung, terutama warga yang rumahnya berada di sekitar lokasi.

Pada hari Jumat 25 Agustus 2006, kelompok perusahaan dan aparat pendukungnya kembali ke lokasi dengan tujuan melanjutkan aktivitas pembukaan jalan, dengan membawa dua warga dari Desa Lilana Kecamatan Fatumnasi, atas Nama Nikanor Bay dan Sius Anone. Kedua orang ini diadu dengan kelompok pendukung Ety Anone, dengan alasan perusahaan telah membayar Rp. 2 juta kepada Nikanor dan Sius untuk membuka jalan di atas tanah tersebut.

Peristiwa ini memang sarat niat adu domba masyarakat. Sius adalah keluarga dekat Ety Anone, namun tanah tersebut memang milik Ety Anone. Selama ini ada upaya dari pihak perusahaan untuk membayar Ety Anone agar membebaskan tanah kepada perusahaan tetapi tidak disetujui oleh keluarga Anone (Ety Anone), sehingga perusahaan dengan bantuan aparat setempat, mencari jalan dengan menghubungi keluarga dekat yang bisa dibayar untuk atas nama tanah (keluaga Anone) dapat membebaskan kepada perusahaan .

Hal ini terlihat dari sikap yang mengemuka saat itu, pihak pro-perusahaan kepada kelompok pendukung Ety Anone, menyatakan silakan berurusan dengan mereka yang sudah menerima uang, sebab kami mau kerja. Sikap ini mendapat reaksi keras dari warga terutama para ibu , yang karena merasa kecewa dengan ulah kelompok pro-perusahaan, yang nota bene didukung oleh aparat pemerintah. Tindakan perusahaan yang sewenang-wenang ditentang keras oleh rakyat. Bahkan seorang ibu, Lodia Oematan sampai mengeluarkan payudaranya sambil ditunjukkan kepada aparat yang hadir, serta mengecam dengan ungkapan kesal, ‘supaya tahu semoga kamu tidak hidup dan besar dari air susu ibu’ kecam ibu tersebut.

Kelompok dan aparat pendukung akhirnya bubar, sebab masyarakat semakin banyak yang berdatangan untuk melakukan perlawanan. Sementara excavator masih dibiarkan tetap tinggal di lokasi, di kebun milik Ety Anone.

Pada hari Sabtu 26 Agustus 2006, kelompok perusahaan dan aparat pendukungnya masih kembali lagi ke lokasi, tetapi wargapun semakin banyak yang berdatangan ke lokasi. Masih saja terjadi perang mulut, bahkan warga mendesak para pekerja dari perusahaan untuk segera mengeluarkan excavator dari lokasi tersebut tetapi kelompok pro-perusahaan menjawab dengan janji baru akan mengeluarkan excavator pada hari senin, 28 Agustus 2006.

Pada hari Senin 28 Agustus 2006 dari 103 orang yang mempunyai lahan disekitar lokasi tambang mengadakan pertemuan dengan investor, Camat Fatumnasi dan tujuh orang anggota kepolisian serta tokoh masyarakat. Dalam pertemuan itu seorang karyawan PT. Teja Sekawan, Desti Nope, membacakan SK Bupati tentang ijin exploitasi Tambang Galian golongan C serta ada upaya dari mereka untuk meyakinkan warga untuk menerima tambang. Selanjutnya mereka menanyakan kepada para pemilik tanah, apakah warga mau melepaskan tanahnya, tetapi dari semua warga pemilik tanah menyatakan tidak bersedia melepaskan tanah, sebab menurut warga mereka tidak memiliki lahan alternatif untuk berkebun sementara sebagai petani mereka hanya menggantungkan harapan hidup pada tanah milik mereka .

Karena merasa tidak mendapatkan dukungan dari warga pemilik tanah, pihak investor secara emosional menjawab masyarakat bahwa, bagaimanapun pihaknya telah mendapat ijin dari Pemda TTS, karena itu walaupun warga tidak setuju untuk memberikan lahan, pihak investor akan tetap bekerja. ‘Saya sudah dapat ijin dari bupati untuk tanbang, jadi walaupun bapak bapak tidak setuju, besok saya akan tetap kerja’ ungkap investor . Mendengar pernyataan investor, warga langsung menyambar itu dengan saling hujat dan adu mulut, sehingga aparat kepolisian langsung mengintervensi pertemuan dengan membubarkan masa.

Dalam pertemuan tersebut, aparat keamanan melalui Yahya Selan juga mengancam beberapa warga untuk melakukan proses hukum terhadap masyarakat yang tidak setuju untuk menyerahkan tanah milik mereka.

Ketika informasi ini kami sampaikan kepada Bapak/ Ibu/ saudara/i. Masyarakat di sekitar lokasi masih dalam kedaan cemas karena selalu diintervensi dan diintimidasi oleh orang-orang suruhan perusahaan termasuk aparat keamanan, bahkan situasi sangat rawan konflik, baik antara warga dengan warga, maupun warga dengan aparat dan pihak investor.