12.19.2006

Tanggapan untuk Beny Harman

 SIARAN PERS
“Tanggapan untuk Pernyataan Beny K Harman tentang Tambang Marmer di Desa Kuanoel - Fatumnasi”


Masyarakat desa Kuanoel, Fatumnasi dan desa yang lain saat ini masih melakukan pendudukan lokasi tambang walau telah datang musim hujan yang berarti musim tanam bagi mereka. Hampir tiga bulan lebih (pendudukan pertama dilakukan mulai tanggal 14 Oktober 2006) masyarakat masih setia menduduki lokasi tambang untuk tetap mempertahankan keberadaan gunung batu yang memiliki nilai penting tidak saja bagi masyarakat desa Kuanoel, Fatumnasi saja tapi juga bagi P. Timor secara keseluruhan.

Dalam hal ini, masyarakat desa Kuanoel-Fatumnasi secara tegas menolak penambangan Faut Lik dan Fatu Ob tidak seperti yang dikatakan oleh anggota DPR RI Beny K Harman di Pos Kupang (Jum-at, 15/12/06) yang menyatakan bahwa,”Warga Mollo tidak menolak kehadiran tambang marmer di wilayah mereka. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) keliru melakukan pendekatan sehingga masyarakat merasa tidak dihargai dan melakukan aksi protes dan penolakan.”

Terkait dengan pernyataan tersebut berikut adalah pandangan kami (PIKUL) yang telah melakukan pendampingan masyarakat sejak awal hingga sampai sekarang ini. Berdasarkan penuturan dari warga yang menduduki lokasi tambang menyatakan bahwa,”Sejak awal sosialisasi Kami selalu menyatakan menolak menjual tanah Kami kepada perusahaan yang akan melakukan penambangan. Jika tanah ini Kami jual bagaimana dengan anak cucu kami mendatang” ungkap Bp. Mellkysedek Oematan salah satu tokoh masyarakat. Lebih lanjut Bpk. Mell mengatakan bahwa,”Berapapun uang kompensasi yang akan Kami terima, Kami akan tetap Tolak itu tambang”.

Penolakan secara tegas oleh masyarakat ini, tidak saja didasarkan pada tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses awal dalam hal perijinan, masalah ganti rugi, terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam maupun peningkatan ekonomi seperti yang dikatakan oleh Beny K Harman. Ada beberapa alasan lain yang disampaikan oleh masyarakat terkait dengan fungsi ekonomis, ekologis maupun budaya tentang posisi gunung batu bagi mereka.

Secara ekonomis, daerah di sekitar gunung batu merupakan satu lahan/ kawasan yang telah dipakai oleh penduduk beratus-ratus tahun sebagai tempat tinggal, bertanam, berternak dsb. Masyarakat telah mengelola lahan di sekitar pertambangan secara turun temurun dan menjadi salah satu sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selama ini. “Jika tanah ini Kami jual, mau kemana lagi Kami harus bertempat tinggal, bertanam maupun berternak?” begitu ungkapan salah seorang warga. Pernyataan lain disampaikan oleh salah seorang warga ketika Kami mendampingi mereka, “Kami hidup bukan dari perusahaan, tapi dari pertanian dan peternakan. Kami tidak merasa diuntungkan dengan adanya penambangan”

Secara ekologis, bahwa gunung batu memiliki fungsi sebagai penangkap air dan penahan longsor. Beberapa sumber air terdapat dicelah-celah batu yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (mandi, mencuci dan memasak) maupun untuk mengairi ladang. Daratan Molo juga menjadi daerah hulu bagi dua sungai besar di wilayah P. Timor yaitu Benenain dan Noelmina yang membelah P. Timor. Penambangan batu marmer akan mempengaruhi ketersediaan air di Tanah Timor serta akan berakibat pada kerusakan ekologis salah satunya berupa bahaya longsor. Batu dipercaya telah menjaga keseimbangan alam di wilayah mereka tinggal.

Secara budaya, gunung batu bagi masyarakat adat memiliki nilai historis dan tradisi yang cukup penting/ kuat. Bagi masyarakat adat disekitar Molo, tidak pernah mengenal istilah marmer, mereka hanya memahami batu sebagai sumber air, bukan barang tambang. Disamping itu, batu-batu yang sering disebut Faot Kanaf memiliki hubungan langsung dengan sejarah enam belas marga masyarakat adat Molo yang tersebar di daratan pulau Timor. Hubungan inilah yang menentukan identitas masyarakat Molo. Disamping itu, ritus-ritus adat yang selalu digunakan masyarakat untuk upacara tradisional masih banyak terdapat disekitar gunung batu hingga sampai sekarang ini.

Berdasarkan pengalaman yang dilihat oleh masyarakat selama ini, pertambangan tidak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar pertambangan. Salah satu contoh kasus yang sangat dekat dengan mereka adalah pertambangan di Nae Tapan desa Tunua, satu desa yang tidak jauh dari Fatumnasi. Hadirnya pertambangan di wilayah mereka lebih banyak menghadirkan kesengsaraan daripada kemakmuran yang diterima oleh masyarakat.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, masyarakat secara tegas melakukan penolakan tambang dengan alasan apapun seperti yang telah diungkapkan kepada kami. Untuk itu, pernyataan Beny K Harman yang telah dimuat di harian Pos Kupang hari Jum-at (15/12/2006) kurang memiliki dasar dan argumentasi yang jelas. Beny K Harman hanya datang sekilas dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan pada tanggal 13 Oktober 2006 di salah satu Gereja di Fatumnasi, sehingga Beny K Harman kurang memahami/ mengerti tuntutan masyarakat saat ini.

Demikian pers release ini Kami buat, sebagai sebuah tanggapan terhadap Beny K Harman terkait dengan penambangan di Faut Lik dan Fatu Ob desa Kuanoel. Untuk melakukan klarifikasi/ konfirmasi tentang penolakan masyarakat ini bisa menghubingi:
1. Mellkysedek Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Aleta Baun : 081318967319
3. Theos/ Arit via HP Yati : 085239329345

Kupang, 18 Desember 2006

Hormat Kami,





Kelik Ismunandar
Manager Advokasi dan
Pengembangan Isu Pikul

No Kontak; 081339178762


12.15.2006

Duduki Lokasi Tambang

Rakyat Masih Menduduki Lokasi Tambang

Kupang, 14 Desember 2006
1. Situasi Terakhir per 12 Desember 2006

Meskipun masyarakat desa Kuanoel, Fatumnasi dan desa yang lain telah mengakhiri pendudukan Kantor Bupati pada tanggal 7 Desember 2006, tidak berarti perjuangan untuk melakukan penolakan tambang telah selesai. Datangnya musim hujan yang merupakan awal dari musim tanam masyarakat, menjadi salah satu alasan untuk meninggalkan kantor Bupati dan kembali ke lokasi agar tidak mengganggu jadwal tanam bagi penduduk sambil tetap menjaga batu.

Pada saat musim tanam seperti ini, hampir sebagian besar penduduk mulai mengolah lahan-lahan mereka yang ada di desa mereka maupun di wilayah/ desa yang lain. Untuk mengolah lahan yang berada di luar desa biasanya membutuhkan waktu kurang lebih dua (2) minggu.

Sebagai salah satu langkah yang diambil oleh masyarakat untuk mempercepat pengolahan lahan sehingga masyarakat bisa segera kembali menduduki lokasi pertambangan dilakukan dengan cara pembagian kelompok. Masing-masing kelompok akan bekerja di kebun-kebun yang saat
ini sedang diolah untuk mempercepat proses tanam agar lokasi pendudukan tidak kosong. Perlu diketahui juga bahwa pendudukan lokasi saat ini dilakukan di rumah salah satu warga yang tidak jauh dari lokasi tambang karena tempat yang bisanya dipakai tergenang air.

2. Provokasi
Pulangnya masyarakat ke lokasi pertambangan tidak berarti berhentinya intimidasi maupun provokasi yang terus menerus dilakukan hingga sampai sekarang ini. Satu hari setelah kepulangan masyarakat, muncul berbagai isu seperti; rencana penyerangan dari desa yang lain, penutupan/ blokade jalan bagi warga Fatumnasi/ Kuanoel, penganiayaan terhadap salah satu warga dll. Isu-isu seperti ini membuat situasi dilokasi cukup mencekam sehingga hampir sebagian besar masyarakat yang tingal di lokasi bersiap-siap untuk melakukan perlawanan atau serangan balik. Di lokasi pertambangan sendiri, untuk saat ini tidak dijaga oleh para preman
yang bisanya setia menjaga di salah satu rumah penduduk.

Provokasi lainnya yaitu, telah terjadi pelemparan salah satu rumah penduduk (Mama Lodia)* pada hari Sabtu, 8 Desember 2006 kurang lebih pukul 19.00 WITA. Pelemparan rumah Mama Lodia ini diketahui oleh beberapa tetangga sekitar yang kemudian berdatangan untuk melihat.
Malam harinya, kurang lebih pukul 24.00 WITA Mama Lodia telah didatangai oleh 4 orang yang tidak dikenal, melakukan tindak kekerasan kepada Mama Lodia (saat ini masih dalam tahap investigasi)

Tidak hanya itu beberapa kali masyarakat didatangi oleh beberapa orang berpakain preman yang tidak jelas dari mana asal-usulnya. Beberapa orang yang datang itu mencoba melakukan provokasi kepada masyarakat untuk melakukan pengruskan (pembakaran) excavator dan mereka ada di belakang masyarakat.

Ancaman lainnya, disampaikan oleh salah seorang (preman) yang selama ini bekerja di perusahaan kepada salah seorang Mama."Saya akan bunuh salah seorang diantara orang-orang itu dan akan saya makan hatinya" begitu ungkapnya kepada salah seorang Mama.

3. Sikap Bupati
Meskipun telah mendapat tekanan dari berbagai pihak, Bupati TTS. Drs. Daniel Banunaek tetap bersikeras untuk tidak mau bertemu dengan masyarakat secara langsung. Pihak Bupati pernah menyatakan bahwa dia hanya mau bertemu dengan masyarakat di Sonaf (Rumah Raja/ Usif) dan tidak di tempat yang lain. Sebagai langkah persiapan, orang-orang Bupati mencoba melakukan Okumama (undangan adat) kepada para tokoh-tokoh adat dari beberapa desa untuk membicarakan masalah ini. Informasi ini disampaikan dari beberapa orang yang melihat hal ini.

Penyelesain secara adat yang diinginkan Bupati mendapat penolakan/penentangan dari masyarakat yang telah menduduki lokasi. Masyarakat menganggap bahwa usaha penyelesaian secara adat merupakan akal-akalan dari Bupati untuk mendapatkan legitimasi bahwa proses perijinan telah disetujui oleh para tokoh adat. Disamping itu, pengangkatan Lambert Oematan (Camat Fatumnasi) sebagai Usif masih mendapat penentangan dari para tokoh adat sehingga pembicaraan di Sonaf (rumah raja) tidak bisa dilakukan.

Dalam hal ini masyarakat masih tetap menginginkan agar pembicaraan masalah tambang harus di bicarakan bersama-sama dengan masyarakat yang akan menerima dampak secara langsung dari pertambangan.Pembicaraan tidak bisa dilakukan hanya dengan para tokoh adat karena mereka belum tentu mewakili suara masyarakat secara umum. Ada dugaan di dalam masyarakat bahwa para tokoh adat yang akan diundang adalah tokoh ada yang dekat dengan Bupati.

Masyarakat juga melihat bahwa masalah tambang adalah masalah publik yang tidak hanya menyangkut desa Kuanoel atau Fatumnasi saja tapi juga menyangkut masyarakat di wilayah lain yang akan menerima dampak pertambangan ini. "Persoalan pertambangan adalah persoalan kebijakan Bupati, sehingga tidak bisa diselesaikan secara adat", begitu ungkap
salah seorang warga.

Sampai saat ini masyarakat masih menunggu dengan cemas tentang proses penyelesaian yang akan dilakukan oleh Bupati. Secara umum masyarakat masih tetap mengingkan untuk mencabut ijin tambang di desa Kuanoel/ Fatumnasi dan segera keluarkan excavator dari lokasi agar ketenangan dan kedamaian masyarakat tetap terjaga.



* Mama Lodia Oematan adalah salah satu tokoh perempuan dari desa fatumnasi yang selama ini menjadi salah satu pelopor/ tokoh yang telah menjadi inspirasi perlawanan masyarakat bersama Mama Lake (alm). Sebagai salah satu tokoh, Mama Lodia telah menerima beberapa kali kekerasan baik saat pendudukan di kantor Bupati (pada saat itu Mama Lodia diangkat dan dilemparkan oleh Satpol PP Kota Soe) maupun kekerasan yang lainnya (saat ini masih dilakukan investigasi dan kronologi lengkapnya bisa dibaca up date mollo berikutnya). Informasi yang lain, Mama Lodia saat ini berada di RS (sejak tanggal 13 Desember) karena di duga beliau menderita TBC akut.

Untuk mengetahui secara langsung situasi lapangan, kawan-kawan bisa menghubungi;
1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via HP Yati : 085239329345

12.09.2006

Pers Release

 PRESS RELEASE
“PROTECT AND IMMEDIATELY END THE CONFLICT OF THE INDIGENOUS PEOPLES OF FATUMNASI-KUANOEL vs DISTRICT HEAD OF TTS”


On Wednesday, 6 December 2006, at about 13.30 Central Indonesia Time, eight (8) trucks  delivered about 300 to the office of the TTS People’s Assembly. At the office across from the office of the District Head, these people tried to carry out an opposition action to chase away the indigenous people of Fatumnasi-Kuanoel and other villages who reject marble mining. Their sit-in had been going on for nearly two (2) weeks without them causing any damage or violence.

This happened when there were not so many at the district head’s office, only about fifty (50) and most of them women. Most of the people who had been sitting at the District Head’s office had left in order to begin planint since the rainy season has arrived. But those who remained did not tremble in the slightest. Although they were pressured to return home, those who were involved in the sit-in just remained motionless and didn’t budge from the office of the District Head. “If we must die here, then we’ll just die here and there is not one person who can scare us. In life there are only three things: Happiness, Problems and Death,” they said.

This is not the first time the people of Kuanoel-Fatumnasi Villages have spoken like this. Since they began their action to reject marble mining in their village last October until recently when they came and sat at the TTS District Head’s office, they have one resolve: to struggle so that the marble mining permit issued in August 2006 to PT. Teja Sekawan Surabaya is revoked. This company has ruined the environment by mining Fatu Ob, a sacred rock of the traditional people of Mollo. If they are now ordered to return home by their own brothers and sisters, it’s clear they won’t accept it. This struggle is very important for the people of Mollo. This is evident because not only members of Fatumnasi-Kuanoel have been carrying out this action, but people from the villages of Tune, Bonleu, Nenas, Fatukoto dan Lelobatan have also actively participated.

Nevertheless, up to now, no action whatsoever has been taken by the person in charge of the local government, in this case, the District Head of TTS, Drs. aniel Banunaek. As with his behavior on previous days, the District Head remains absent and refuses to meet with the masses gathered at his office. His behavior is highly irresponsible and can result in very big risks, namely the breakout of conflict among the two groups of people. The potential for this is high considering the number of those who have come – with very organized transport – to oppose those at the sit-in.

Provocation and attacks on the people are likely at any moment. It is still fresh in our minds the incident at Naitapan in April 2006 when thugs attacked (threw things at) opponents of the marble mining who were blocking the mining location and the police did not intervene and just let them be hit. But when the people tried to retaliate on their attackers, the police (security forces) arrested activists and local leaders.

Considering the situation, we request that:
1. the Governor of NTT immediately mediate the conflict between the people of Fatumnasi-Kuanoel Villages with the District Head of so that this problem does not drag on;
2. the provincial Chief of Police provide protection and security for the people of Fatumnasi-Kuanoel Villages who at this time are still sitting at the District Head’s office;
3. request security forces to arrest the provocateurs who are baiting the people with anarchic behavior.

The rejection by the people of Kuanoel-Fatumnasi Villages and other villages regarding the mining of Faut Lik and Fatu Ob is based on critical awareness that has been born among the people. The presence of the mining company only gives birth to ecological disaster for all the land of Timor Island and cannot ever be changed by anything. It is time we began to think how to preserve the balance of the environment for our children and grandchildren in the future.


Respectfully,





Kelik Ismunandar
Manager Advocacy and Issue Development
Pikul

Contact No: 081339178762


Sit-In at Office of TTS District Head (4)

Sit-In at Office of TTS District Head (3)
Thursday 12/7/2006 10:23 AM
Wed, 6 Decemeber 2006

Soe, 23.50 Central Indonesian Time
A large mass of opponents came at noon, with eight trucks and one bus and started to bother the men and women sitting-in at the District Head’s office. The sound system they brought was turned up very loud until morning and they were drunk.

At about 23.30 Indonesian Central Time these new arrivals could no longer be controlled and began to bother and provoke the masses. The TTS Chief of Police at the site negotiated with the mean and women to sleep at the police office and in the morning (about 5.30 Indonesian they would be returned.

The Chief of Police said that the police were no longer able to handle the drunken masses and if they took action things would get chaotic. To handle security of the men and women, the Police Chief asked them to sleep at the Police station and leave all the things they had brought. He promised to guard and return their things to them the next morning. Weighing several matters, the men and women finally accepted what the Chief of Police’s bargain.

Thursday, 7 December 2006
Soe, 06.00 Central Indonesian Time

In accordance with the promise made by the Chief of Police, at about 5.00 am Central Indonesian Time, the women and men were already prepared to return to the office of the District Head. Before they returned the Chief of Police ordered them not to be baited by provocation by outsiders. The women and men had to maintain their guard so that their action would be a peaceful action.

After talking awhile with the Chief of Police, the women and men were then delivered to the site with a government truck. Upon arrival at the location several banners that had been hanging as long as the people had been sitting at the District Head’s office had completely disappeared. These banners had the following written on them:
1. Withdraw Mining Permits for the Sake of Environmental Preservation
2. Stop Mining!!! Save Water Sources for our Children and Grandchildren
3. Reject Mining, Save Water & Food on Timor Island
4. Come on, Let’s Unite to Refuse Mining
5. Stop Looting the Earth of Mollo

When they saw the women and men coming, the opposition tried to resume their provocation. They tried to surround the men and women who continued to sit calmly in the yard in front of the District Head’s office, but always on guard for their safety. Despite the provocation, the women and men still do not want to leave the District Head’s office until the mining permit has been withdrawn, FOR ALL OF US WHO HAVE BEEN BLESSED AND LIVE FROM MOLLO. At the time this news was received, the women and men were still in a threatening situation.

To know directly the situation in the fields, friends can contact:

1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via Yati’s handphone : 085239329345

*According to information from the field, one bus that was carrying a mass of opposition rolled over; three people died and tens of others suffered serious injuries. The truth of this information needs to be checked.



Sit-In at Office of TTS District Head (2)

 Sit-In at Office of TTS District Head (2)
(First installment is Molo Update 30 Nov.)



Kupang, Wednesday, 6 December 2006
1. Situation of the Sit-in
The sit-in at the office of the TTS District Head is now in its 13th day (the entire protest has now continued for two months), nevertheless the indigenous people of Kuanoel Village, Fatumnasi and several other villages in the Mollo area are still hanging on. The Fathers and Mamas along with youth do not want to leave the sit-in until they have met with the District Head who must permanently / temporarily withdraw the mining permit.

"We will not go home before we have met with the District Head, Mr. Daniel Banunaek to see that he immediately stops the mining permit. Besides that, the auto [excavator] must also immediately be removed from the location because it makes our heads dizzy,” say the Mamas. Nevertheless, Mr. District Head who is awaited has still not yet shown his face; he’s even inclined to avoid them. Since the sit-in at the office of the District Head began, Mr. Daniel Banunaek has never gone to his office and has temporarily moved his office his home.

The District Head’s stubbornness has been met by the people by holding a sit-in / surrounding his office. On Saturday (2/12/06) and Tuesday (5/12/06) the people who usually have just sat in front of the District Head’s office began to advance to close the door of the office so that workers wanting to enter the office had to go around to the back.

"The District Head has bothered our lives all this time. During this season we should be preparing our fields for planting, but because the District Head has issued a permit for mining, it has made our lives more difficult. The closing of the door to the District Head’s office isn’t making things more difficult for Mr. District Head or his workers because they can still live from the salaries they receive. But for us who have never received a salary, leaving our fields at such a time is a threat to our lives, our future,” said Mama Lodia.

[Rains began on Monday, 4 Des.] To face the rainy season, which means the people’s planting season, they have divided themselves into several groups so that some can go home earlier to immediately prepare their fields while others will remain at the location while waiting for other people who have already planted to arrive and replace them. They are doing this so that the location (the District Head’s office) will not be left empty.

2. Attitude of the Political Elite
Although the people have been sitting-in at the District Head’s office for 13 days, the attitude of the political elite (executive and legislative) in TTS District, the province and at the national level does not yet indicate they are serious. The attitude to play behind the screen and to be unwilling/”courageous” to appear in the front is more visible from the attitudes that have been taken up to now.

Although members of both the district and provincial people’s assembly and also the national people’s assembly have visited the location, nevertheless they still make quick promises and have not yet taken any concrete actions. What is even stranger is that several members of the TTS People’s Assembly who visited the people at the sit-in at the District Head’s office not long ago said, “Sorry, misters and mamas, we are taking a recess and saw there were people sitting out here so we tried to come. Up to now we didn’t know anything about the problem all you men and women have been facing so we invite you to speak with us about this matter. And you need to know that our presence here is not on behalf of the institution, but on our own behalf as individuals,” so spoke a member of the TTS People’s Assembly who was present.

A statement such as this by a member of the assembly is very strange and doesn’t make sense; to use this shows they are not brave to give explicit support to the people. What is even stranger is that members of the District People’s Assembly have visited the location two times, so why don’t they know anything at all????

Obviously the people must persist to struggle on their own, even though they have chosen representatives who at this time sit in seats at the District/Provincial People’s Assemblies, as well as the central [National People’s Assembely] because they were elected by the people.
"If they are unable to help us, don’t blame us if in the coming election we don’t vote for them or even don’t vote at all,” said several of the people.

3. Future Plans
The people will continue to sit-in at the District Head’s office as well as at the mining site until: the District Head meets with the people, the District head withdraws the mining permit permanently/temporarily, and the auto [excavator] is removed from the location. If these three things are not met, then the people will persist in their protest.

Seeing that the District Head still does not want to meet with/heed the people, thus the struggle of the indigenous people of Kuanoel, Fatumnasi Village and other villages will continue for a long time. The failure of the people to chase away the investor from the mining site means a legitimation of other mining plans on Mollo land that is rich in natural resources, especially marble. If that happens, then environmental destruction, water pollution, poverty and hunger will haunt the people every year. Support and pressure from many parties is still very needed here to stop all mining permits in Mollo Earth that never give welfare for the people.

Soe, 13.30 Central Indonesia Time
At this moment more or less 300 people from Amanuban and Amanatun (using 8 trucks) have been delivered to the office of the People’s Assembly office (next to the office of the District Head). These masses are shouting and asking the [anti-mining demonstrators] to immediately go home and leave the location.

Although they are being pressured to immediately go home, the indigenous people of the Village of Fatumnasi and Kuanoel still refuse to be moved even a little from the office of the District Head. "If we must die here, let us just die here and there is not even one person who can scare us. In life there are only three things: happiness, difficulty and death,” said the people of Kuanoel and Fatumnasi Villages.

At this time there are not many still at the sit-in at the District Head’s, only about 50 people, mostly women. Most of the people have gone home to plant because the rainy season has arrived.

Although the people of Kuanoel-Fatumnasi Villages are being threatened by thugs, the police are trying to wash their hands and don’t want to take responsibility. They are allowing the thugs to perturb the women who remain at the location. an mencoba cuci tangan untuk tidak mau bertanggungjawab. Mereka membiarkan para preman mengusik para Mama yang tetap tinggal di lokasi. Provocation and attacks of the people could very likely occur at any moment and the police will just let it happen. This brings to mind the Naitapan case of April 2006 when thugs attacked (threw things at) those who were blockading the mining location and the police just let it happen. But when the people [protestors] tried to retaliate for that attack, the police (security forces) then arrested activists and local leaders.

While awaiting news of further developments, friends who have legal aid (lawyers) can provide back-up in this case if the people of Fatumnasi and Kuanoel Villages are arrested.

To know directly the situation in the fields, friends can contact:

1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via Yati’s handphone : 085239329345






12.07.2006

Pendudukan Kantor Bupati

Aksi Tandingan 
Rabu, 6 Desemeber 2006

Soe, 23.50 WITA
Masa tandingan yang datang pada pada siang hari, dengan delapan truck dan satu bis* terus melakukan aktivitas yang cukup mengganggu Mama-Mama dan Bapak-Bapak yang menduduki kantor Bupati. Sound system yang mereka bawa dibunyikan secara keras sejak pagi sambil mabuk-mabuk.

Kurang lebih pukul 23.30 WITA massa tandingan yang sudah tidak terkontrol mulai mengganggu dan memprovokasi massa. Bapak Kapolres TTS yang ada di lokasi kemudian melakukan negoisasi dengan Bapak-Bapak dan Mama-Mama untuk tidur di kantor Polres dan paginya (kurang lebih pukul 05.30 WITA) Mama-mama dan Bapak-bapak akan dikembalikan lagi.

Kapolres mengatakan bahwa, Polisi sudah tidak mampu lagi menangani massa yang mabuk-mabuk dan jika Polisi mengambil tindakan maka akan terjadi kekacauan. Untuk menjaga keamanan Bapak-Bapak dan Mama-mama Kapolres meminta mereka untuk tidur di kantor Polres dan meninggalkan semua barang yang dibawa. Beliau berjanji untuk menjaga dan akan mengembalikan Mama-Mama dan Bapak-Bapak besok pagi. Atas pertimbangan berbagai hal pada akhirnya Bapak-Bapak dan Mama-Mama bersedia menerima tawaran Kapolres.

Kamis, 7 Desember 2006
Soe, 06.00 WITA
Sesuai dengan janji yang telah disampaikan Kapolres kurang lebih pukul 05.00 WITA, Mama-mama dan Bapak-bapak sudah bersiap-siap untuk kembali ke Kantor Bupati. Sebelum massa pulang Kapolres memberi pesan agar Mama-Mama dan Bapak-Bapak tidak terpancing  provokasi oleh pihak-pihak di luar mereka. Mama-mama dan Bapak-bapak harus tetap menjaga agar aksi yang dilakukan adalah aksi damai.

Setelah berbicara sebentar dengan Kapolres, kemudian Mama-mama dan Bapak-Bapak diantar satu Truck Dalmas. Setiba di lokasi beberapa spanduk yang selama ini dipasang telah hilang sama sama sekali.

Beberapa spanduk tersebut bertuliskan:
1.Cabut Ijin Tambang Demi Kelestarian Lingkungan
2.Hentikan Tambang!!!Selamatkan Sumber Air Demi Anak Cucu
3.Tolak Tambang,Selamatkan Air + Pangan di Pulau Timor
4.Mari Sama-sama Bersatu Tolak Tambang
5. Hentikan Penjarahan di Bumi Molo

Begitu melihat Mama-mama dan Bapak-Bapak datang, massa tandingan mencoba melakukan provokasi kembali. Mereka berusaha mengepung Bapak-bapak dan Mama-mama yang tetap duduk tenang di halaman Kantor Bupati dengan perasaan yang selalu was-was atas keselamatan mereka.

Namun demikian, Mama-mama dan Bapak-Bapak tetap tidak mau beranjak dari kantor Bupati sampai dengan ijin pertambangan dicabut, DEMI KITA SEMUA YANG SELAMA INI MENDAPAT BERKAH DAN HIDUP DARI MOLO. Sampai berita ini diturunkan Mama-Mama dan Bapak-bapak masih dalam situasi terancam.

Untuk mengetahui secara langsung situasi lapangan, kawan-kawan bisa menghubungi;
1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via HP Yati : 085239329345


*Menurut informasi dari lapangan, satu bis yang membawa massa
tandingan terguling hingga mengakibatkan 3 orang tewas dan puluhan
orang mengalami luka berat. Untuk informasi tentang hal ini perlu
dicek lagi kebenarannya.


12.06.2006

Pendudukan Kantor Bupati (3)

Dihadang Para Preman 
Rabu, 6 Desember 2006

Soe, 13.30 WITA

Pada saat ini kurang lebih 300 orang massa tandingan (dengan menggunakan 8 truck) yang berasal dari Amanuban dan Amanatun telah diturunkan di kantor DRPRD (bersebelahan dengan kantor Bupati). Massa tandingan berteriak-teriak dan meminta massa untuk segera pulang dan meninggalkan lokasi.

Meskipun di desak untuk segera pulang, masyarakat adat desa Fatumnasi dan Kuanoel masih tetap tidak bergeming sedikitpun dari kantor Bupati. "Jika Kami harus mati disini biarkanlah Kami mati disini saja dan tidak ada seorangpun yang bisa menakut-nakuti Kami. Dalam hidup hanya ada tiga hal; Senang, Susah dan Mati", begitu ungkap seluruh masyarakat desa Kuanoel dan Fatumnasi.

Pada saat ini jumlah massa yang bertahan di kantor Bupati memang tidak terlalu banyak, kurang lebih 50 orang yang didominasi oleh para Mama. Sebagian besar masyarakat saat ini sedang pulang kerumah untuk segera bertanam karena musim hujan sudah datang.

Meskipun masyarakat desa Kuanoel-Fatumnasi mendapat ancaman dari para preman, pihak aparat Kepolisian mencoba cuci tangan untuk tidak mau bertanggungjawab. Mereka membiarkan para preman mengusik para Mama yang tetap tinggal di lokasi. Provokasi dan penyerangan kepada masyarakat sangat mungkin terjadi setiap saat dan Polisi akan membiarkannya. Masih ingat kasus Naitapan yang terjadi pada bulan April 2006 ketika para preman menyerang (melempari) massa yang memblokade lokasi tambang dan Polisi membiarkannya. Tapi ketika massa mencoba membalas serangan tersebut Polisi (aparat keamanan)kemudian menangkap para aktivis dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Dan Kita masih akan menunggu perkembangan berikutnya, untuk itu bagi kawan-kawan yang memiliki tenaga bantuan hukum (Lawer) bisa memback-up kasus ini jika terjadi penangkapan terhadap masyarakat desa Fatumnasi dan Kuanoel.

Untuk mengetahui secara langsung situasi lapangan, kawan-kawan bisa menghubungi;
1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via HP Yati : 085239329345


 

In Memoriam

Mama Lake

Monday 4 Desember 2006 3:02 PM
Dear friends:

Grief blankets the fathers and mamas who still struggle to stop marbel mining in Kuanoel Village, for the True One Who Breaks Down Barriers has called home Mama Marcelina Anone or who was usually called Mama Lake who died on Thursday, 30 November 2006 at about 17.00. She was 55 years old.

Mama Lake was a pioneer in the people's opposition PT. Teja Sekawan. She along with Mama Etty Anone were the two courageous women to block the mining excavator for the first time on 24 Agustus 2006. Without any fear at all, Mama Lake together with Mama Etty Anone bravely obstructed the mining workers who had begun to work. This opposition by Mama Lake and Mama Etty Anone was then followed by a wave of opposition by the people that has continued until now.

Mama Lake's courage was again demonstrated when she, together with two other women (Ms. Veronika and Mince Taklale) obstructed the excavator on Thursday, 2 Nov 2006 (for more complete information, read the action chronology of 2 November 2006). Mama Lake blocked a drilling maching that was being used so that her entire body (especially her face) was covered by dust. You should know that the other two women, Ms. Veronika and Mince Taklale, covered their faces, whereas Mama Lake did not so that she was they one who was most heavilty hit by dust.

Since then, Mama Lake, who was already ill, became increasingly sick so that her friends suggested she go to Soe to be examined. But Mama Lake refused and chose to remain at Kuanoel until she died last Thursday. In the moments approaching death, she still asked about the protest actions and asked for news about the sit-in at the office of the District Head (in Soe).

Safe travels, Mama ... what you did has been a source of inspiration for the struggle of the people of Mollo until now. We will continue the struggle, Mama.



Pendudukan Kantor Bupati 2

Pendudukan Kantor Bupati 2 


Kupang, Rabu, 6 Desember 2006
1. Situasi Pendudukan
Aksi pendudukan kantor Bupati telah berjalan 13 hari (secara keseluruhan aksi pendudukan telah berlangsung selama 2 bulan), namun masyarakat adat desa Kuanoel, Fatumnasi dan beberapa desa lain di wilayah Molo masih tetap bertahan. Bapak-Bapak, Mama-mama serta para pemuda/i tidak mau beranjak dari lokasi pendudukan sebelum bertemu dengan Bupati yang harus menghentikan selamanya/ sementara ijin pertambangan.

"Kami tidak akan pulang sebelum bertemu dengan Bapak Bupati Daniel Banunaek untuk segera menghentikan ijin tambang. Disamping itu, Oto (Excavator) juga harus segera dikeluarkan dari lokasi karena bikin kepala Kami pening", begitu ungkapan para Mama-mama. Meskipun demikian, Bpk. Bupati yang ditunggu-ditunggu juga belum menampakkan batang hidungnya, malah cenderung menghindar. Sejak pendudukan di kantor Bupati, Bpk. Daniel Banunaek tidak pernah berkantor/ berada di lokasi dan memindahkan sementara kantornya di rumah Dinas.

Sikap keras kepala dari Bupati tersebut disambut oleh masyarakat dengan melakukan pendudukan/ pengepungan kantor Bupati. Pada hari Sabtu (2/12/06) dan hari Selasa (5/12/06) masyarakat yang biasanya hanya duduk-duduk di depan kantor Bupati mulai merangsak maju menutup pintu depan kantor Bupati sehingga para pegawai yang akan masuk kantor
harus berputar.

"Bapak Bupati telah mengganggu kehidupan Kami selama ini. Seharusnya pada musim-musim seperti ini Kami sudah mempersiapkan lahan untuk segera tanam di kebun, tapi karena Bupati memberi ijin pada tambang maka membuat hidup Kami lebih susah. Penutupan pintu kantor Bupati tidaklah membikin susah Bpk Bupati maupun para pegawai karena mereka akan tetap bisa hidup dengan gaji yang mereka terima. Tapi bagi Kami yang tidak pernah menerima gaji, meninggalkan ladang di saat-saat seperti ini merupakan ancaman bagi kehidupan Kami kedepan", kata Mama Lodia.

Dalam menghadapi musim hujan yang berarti musim tanam bagi masyarakat, telah dibagi beberapa kelompok yang akan pulang terlebih dahulu untuk segera mempersiapkan lahan. Sedang yang lain masih tetap bertahan dilokasi sambil menunggu masyarakat lain yang sudah selesai bercocok tanam. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan di lokasi pendudukan (kantor Bupati).

2. Sikap Elit Politik

Meskipun masyarakat telah menduduki kantor Bupati selama 13 hari, sikap elit politik (Eksekutif dan Legislatif) di Kabupaten TTS, Provinsi maupun Nasional belum menunjukkan keseriusannya. Sikap untuk bermain dibelakang dan tidak mau/"berani" tampil di depan lebih nampak dari sikap-sikap yang diambil selama ini.

Meskipun anggota DPRD baik Kabupaten maupun Provinsi dan juga anggota DPRRI telah datang dan mengunjungi lokasi namun mereka masih obral janji dan belum ada tindakan kongkrit. Hal yang lebih aneh lagi ditunjukkan oleh beberapa anggota DPRD Kabupaten TTS yang sempat mengunjungi masyarakat saat pendudukan kantor Bupati beberapa waktu
lalu dan mengatakan,"Maaf Bapak-Bapak dan Mama-Mama, saat ini Kami sedang reses dan melihat kok ada masyarakat duduk-duduk disini sehingga Kami mencoba untuk datang. Sampai dengan saat ini Kami tidak tahu menahu tentang permasalahan yang dihadapi oleh Bapak-Bapak dan Mama-Mama sekalian sehingga Kami mengundang untuk bicara bersama tentang hal ini. Dan yang perlu diketahui bahwa kehadiran Kita disini bukan mengatasnamakan lembaga tapi Kami mengatasnamakan individu", begitu ungkapan salah seorang anggota DPRD Kabupaten TTS yang hadir.

Pernyataan anggota Dewan seperti ini sangat aneh dan tidak masuk akal bagi Kami yang menunjukkan bahwa mereka tidak berani secara tegas memberi dukungan kepada masyarakat. Hal yang lebih aneh lagi adalah bahwa anggota DPRD Kabupaten telah mengunjungi lokasi selama dua kali namun kenapa mereka tidak tahu sama sekali????

Nampaknya masyarakat harus tetap berjuang sendirian, walau mereka telah memilih para wakil rakyat yang saat ini telah duduk di kursi DPRD Kabupaten/ Provinsi maupun pusat karena dipilih oleh mereka. "Jika mereka tidak mampu membantu Kami, jangan salahkan Kami jika untuk pemilu mendatang Kami tidak akan memilih mereka atau bahkan tidak akan
ikut mencoblos" begitu ungkapan beberapa masyarakat.

3. Rencana Kedepan

Aksi pendudukan kantor Bupati maupun pendudukan lokasi tambang akan tetap dilakukan oleh masyarakat sampai dengan; Bupati menemui masyarakat, Bupati mengeluarkan surat ijin penghentian selamanya/ sementara dan Oto (Excavator) keluar dari lokasi. Jika tiga hal itu
tidak dipenuhi maka masyarakat akan tetap bertahan.

Melihat sikap Bupati yang masih tidak mau bertemu/ menggubris masyarakat maka perjuangan yang akan dilakukan oleh masyarakat adat desa Kuanoel, Fatumnasi dan desa yang lain masih akan panjang. Kegagalan masyarakat mengusir investor untuk keluar dari lokasi tambang berarti akan melegalkan dan memuluskan rencana pertambangan lainnya di tanah Mollo yang kaya akan sumber daya alam khususnya marmer. Jika itu terjadi maka kerusakan lingkungan, pencemaran air, kemiskinan, kelaparan akan selalu menghantui masyarakat setiap tahunnya. Dukungan dan tekanan dari banyak pihak masih sangat dibutuhkan disini untuk menghentikan seluruh ijin pertambangan di Bumi Mollo yang tidak akan pernah memberi kesejahteraan bagi masyarakat.

Untuk mengetahui secara langsung situasi lapangan, kawan-kawan bisa menghubungi;
1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via HP Yati : 085239329345

Berita Duka


Berpulangnya Sang Pendobrak

Berita duka menyelimuti Bapak-Bapak dan Mama-Mama yang sampai saat ini masih terus berjuang untuk menghentikan tambang marmer di desa Kuanoel yaitu telah dipanggilnya Sang Pendobrak Sejati yaitu Mama Marcelina Anone atau biasa dipanggil Mama Lake. Beliau meninggal pada hari Kamis, 30 November 2006 kurang lebih pukul 17.00 WITA dalam usia 55 tahun.

Mama Lake adalah salah satu pelopor perlawanan rakyat yang melakukan penentangan terhadap PT. Teja Sekawan. Untuk pertamakalinya, beliau dengan Mama Etty Anone adalah dua orang perempuan pemberani yang menghadang excavator untuk pertamakalinya pada tanggal 24 Agustus 2006. Tanpa rasa takut sedikitpun Mama Lake bersama Mama Etty Anone berani menghadang para pekerja yang sudah mulai bekerja. Perlawanan dari Mama Lake dan
Mama Etty Anone inilah kemudian diikuti oleh gelombang penentangan/ perlawanan yang dilakukan oleh rakyat sampai dengan saat ini.

Keberanian Mama Lake kembali ditunjukkan ketika beliau bersama dengan dua orang perempuan lain (Ny. Veronika dan Mince Taklale) menghadang excavator pada aksi hari Kamis 2 Nov 2006 (untuk lebih lengkapnya bisa dibaca dalam kronologi aksi 2 November 2006). Keberanian Mama Lake ditunjukkan dengan penghadangan terhadap mesin bor yang sedang bekerja sehingga hampir seluruh tubuh (khususnya bagian muka Mama Lake) tertutup oleh debu. Perlu diketahui bahwa dua perempuan yang lain yaitu Ny. Veronika dan Mince Taklale memakai kain penutup sedangkan Mama Lake tidak menggunakannya sehingga beliau paling parah terkena debu.

Sejak saat itu, tubuh Mama Lake yang sudah sakit-sakitan semakin parah sehingga ada usul dari kawan-kawan agar Mama Lake ikut ke Soe untuk diperiksakan. Namun beliaunya menolak dan memilih tinggal di lokasi (Kuanoel) sampai dengan meninggalnya pada hari Kamis lalu. Saat-saat terakhir menjelang meninggal, beliau masih sempat menanyakan tentang aksi yang dilakukan dan menanyakan kabar pendudukan kantor Bupati.

Selamat jalan Mama..........apa yang telah Mama lakukan telah memberi inspirasi terhadap perjuangan masyarakat Mollo hingga sampai saat ini. Kami akan teruskan perjuangan Mama.



 

12.04.2006

Pengiriman Surat Permintaan Klarifikasi PIKUL kepada Bupati TTS

Release

Pengiriman Surat Permintaan Klarifikasi PIKUL kepada Bupati TTS

Atas Berita di Rote Ndao Pos pada Tanggal 22 November 2006

Saat ini aksi pendudukan tambang di Kecamatan Fatumansi, Molo Utara, sudah mendekati hari ke 52, dan telah satu minggu lebih masyarakat menginap di halaman kantor Bupati TTS untuk bertemu dengan Bupati agar segera mencabut ijin yang telah diberikan kepada PT. Tedja Sekawan. Dukungan dari berbagai pihak kepada masyarakat Mollo pun semakin banyak mengalir, tidak saja dari kalangan LSM tetapi juga dari organisasi keagamaan, tokoh masyarakat, politisi dsb. Namun, pemerintah Daerah TTS dalam hal ini Bupati Timor Tengah Selatan, Daniel Banunaek, tetap saja tidak mau mencabut ijin tambang yang telah diberikan kepada PT Teja Sekawan. Malahan beredar berita di Rote Ndao Pos yang memuat ucapan Bupati TTS dan dikutip oleh dua anggota DPRD TTS, mengenai keterlibatan PIKUL (Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal) dan OAT (Organisasi Ataimamus) sebagai LSM yang sejak awal mendampingi Masyarakat Mollo, bahwa PIKUL dan OAT telah menjual seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalam wilayah Mollo kepada investor asing senilai 3 Trilliun.

Untuk menanggapi pernyataan tersebut Yayasan PIKUL telah melayangkan surat permintaan klarifikasi dan/atau konferensi Pers, kepada Bupati TTS yang telah dikirim pada tanggal 29 November 2006. Sebab jelas, apa yang diucapkan Bupati TTS, Daniel Banunaek, sama sekali tidak benar dan mengindikasikan keinginan untuk mengalihkan berita mengenai perlawanan terhadap penambangan marmer yang sedang dilakukan oleh Masyarakat Mollo. Jika dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, sejak surat klarifikasi ini diterima oleh Bupati TTS, dan permintaan tersebut tidak dilaksanakan oleh Bupati TTS, maka PIKUL akan melakukan upaya hukum baik gugatan perdata maupun tuntutan pidana sebagaimana yang berlaku di Indonesia.

Kupang, 4 Desember 2006

Divisi Advokasi dan Pengembangan Isu

Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL)

Kupang-NTT

Undangan Bersolidaritas Versi Inggris

Dear Friends,

Tuesday, 21 November 2006

Today at 10.00 am, the masses, totaling more or less 200 people, who have been sitting at the mining location blocked the road when the car of the Vice District Head (Peter Loba) and his entourage were passing on their way to officiate at a ceremony to honor a new road in Nuapin Village. The people had received word of the event the day before so that they did not leave the site and waited for the arrival of the Vice District Head’s car.

When they heard the Vice District Head’s car coming, they moved up and stood along the side of the road. Then the Vice District Head and those with him got out of their car and tried to havJustify Fulle a dialogue with the people.

The dialogue was opened by Aleta Baun (Mak Leta) who explained the situation of the problem and the reasons the people were involved in a demonstration. Mak Leta said that for more than one month the people had been sitting at the mining location because they reject the permit that allows mining in their village as well as in other villages in Mollo.

Mr. Melly Oematan also expressed his opinion, stressing what had been said by Mak Leta. Mr. Mel said that, “in the socialization carried out by both the mining company and the government, the people had emphatically rejected the mining plan. The people have rejected the mining by sitting at the mining location for almost 1.5 months. This indicates the determination of the people throughout Kuanoel and Fatumnasi Villages to reject the mining”.

"Based on the people’s rejection up to now, we therefore request the District Head to withdraw the mining permit, not just temporarilty,” said Mr. Polly who furthered Mr. Mel’s position. A total withdrawal of mining permis, not only issued to the company mining in Kuanoel but also other permits as well as other plans to mine in Mollo. The struggle of the people of Kuanoel-Fatumnasi Village and other villages aims to reject all mining permits in Mollo. “For the people, mining is only a source of disaster and never makes us happy/prosper.”

Another person to speak was one of the women (Mama) who was present (Senam Oematan) who said that the mining had caused women to suffer in relation to availability of water and crop harvests. “We (women/mama-mama) must walk even further to obtain water because the water around the location is now polluted while among us now there are pregnant women. The same is true with our crop harvests that will surely be diminished since we can no longer plant on our land that is at the mining site. This condition will certainly cause us women here to suffer more and more so that we are all determined to obstruct the excavator so that it will not ruin our fields, water and rock that have kept us alive all this time.

Hearing the demands and explanations presented by the men and women, the Vice District Head shed tears. He told the people that up to now he was not in agreement with Mr. District Head. Mr. Vice District Head promised to facilitate a meeting of the people with Mr. District Head on Thursday, 24 November 2006 since the people planned to hold a sit-in at the District Head’s office beginning on (that) Thursday.

After that, Mr. Vice District Head left the men and women who were still sitting at the mining location to protect the rock so that it would not be mined. Were the tears shed by the Vice District Head a sign of his commitment to side with the people or…. We wait for further news.