11.30.2006

Intimidasi Preman dan Camat Fatumnasi

 
Camat dan Preman Terus Intimidasi Rakyat

Fatumnasi 30 November 2006
17.30 WITA
Pada saat itu Sefron Seka (korban) berdiri di dekat rumahnya untuk istirahat dan mobil Camat meluncur dari Fatumnasi (atas). Tidak lama kemudian mobil Camat berhenti tidak jauh dari lokasi Sefron Seka berdiri untuk menemui beberapa preman yang selama ini bekerja di tambang. Bpk Camat meminta kepada; Nery, Patje dan anak Ence Tony untuk cari Sefron.

17.40 WITA
Kemudian ketiga orang tersebut berusaha mencari Sefron di rumahnya (tempat dia berdiri) tapi tidak menemukannya. Kemudian ketiga orang tersebut terus mencari yang akhirnya menemukan Sefron di rumah Bpk RT (Junus Anone). Begitu mendapatkan Sefron ketiga orang
tersebut langsung memukulinya secara membabi buta hingga terjadi pendarahan di muka dan leher. "Kita sudah dapat begini, lebih baik di kasih mati saja", begitu kata salah seorang diantara mereka.Pada saat pemukulan itu Bpk. Camat berdiri di dekat rumah Bpk. RT.

17.45 WITA
Mendengar ada keributan, Mama Petronela Sole (Istri) datang dan mencoba menghentikan pemukulan. Kemudian terjadi pembicaraan diatara mereka;
Petronela Sole (Istri) ; Kenapa beribut dan pukul dia???
Nery                             : Dia mau lempar itu Oto Camat
Petronela Sole             : Mana buktinya kalau dia melempar oto (mobil) Camat?
Patje                             : Ini buktinya (sambil mengangkat batu)

Kemudian Mama Petronela Sole membawa Sefron pergi dari situ untuk dibawa ke lokasi pendudukan. Namun massa disitu tidak banyak sehingga Mama Petronela membawa ke
rumah Bpk. Mel. Menurut Bpk. Mel ini hanya alasan preman dan Camat saja untuk mengintimidasi rakyat yang menolak tambang.

Pada saat ini kita menyarankan untuk membawa kasus ini ke kantor Kepolisian agar segera di proses, tapi sampai dengan kronologi ini kita tulis apakah sudah mengadukan ke kantor Polisi atau belum.


Tolong ini bisa disebarluaskan ke jaringan kawan-kawan untuk memberi tekanan kepada Camat, para preman dan juga agar Polisi secara tegas meneruskan kasus ini. Proses intimidasi seperti ini selalu dilakukan oleh pihak perusahaan untuk melakukan provokasi kepada  masyarakat yang telah terbukti mampu melakukan aksi tanpa kekerasan.


Pendudukan Kantor Bupati (1)

Pendudukan Kantor Bupati (1)

Kupang, Kamis, 30 November 2006

1. Situasi Pendudukan
Aksi pendudukan kantor Bupati TTS oleh masyarakat Fatumnasi,Kuanoel dan desa yang lain masih berlangsung hingga saat ini. Aksi pendudukan itu sendiri dimulai sejak hari Kamis, 23 November 2006 yang diikuti oleh kurang lebih 180 massa yang terdiri dari Bapak-bapak, Mama-mama dan pemuda/i Desa Kuanoel-Fatumnasi dengan menggunakan 2 truck.

Meskipun mengalami kesulitan untuk bisa masuk di Kota Soe karena dihadang oleh para preman di tengah jalan namun masyarakat tetap bisa masuk karena kegigihan/ keyakinan yang mereka miliki. Hanya ada satu kata bagi masyarakat yaitu cabut ijin pertambangan di desa mereka dan seluruh daratan Molo karena nyata-nyata tidak akan menguntungkan mereka.

Kegigihan para Mama2, Bapak2 dan para pemuda desa Kuanoel, Fatumnasi dan desa yang lain dibuktikan kembali ketika pada saat pendudukan hari 1-2 diserang oleh para preman. Serangan tidak hanya intimidasi yang berupa teriakan-teriakan untuk mencari para tokoh yang menjadi
pimpinan aksi tapi juga pelemparan batu yang terjadi beberapa kali.

Ketegangan, ketakutan, shock berat memang dialami oleh beberapa mama2 yang malam itu sedang istirahat (serangan biasa dimulai pukul 01.00 - 03.00 WITA). Akibat serangan ini ada beberapa mama2 dan bapak2 mengalami shock yang luar biasa (sampai terkencing dicelana, jatuh sakit, memutuskan untuk pulang dll) namun sebagian besar dari mereka masih tetap bertahan di lokasi.

Meskipun demikian berbagai bentuk intimidasi, serangan, teror tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk tetap bertahan di kantor Bupati. Massa tambahan dari desa-desa yang lain malah justru bertambah dimana pada hari Selasa, 28 November 2006 telah datang 1 truck (kurang lebih 40 orang) dari desa Fatumnasi, Kuanoel, Tune dan Bonleu bergabung dengan masyarakat yang telah menduduki sebelumnya. Ratusan massa dari desa yang lain (Tune, Bonleu, Ajobaki dll) tinggal menunggu komando untuk datang dan bergabung di lokasi.

2. Sikap Bupati
Meskipun massa telah menduduki kantor Bupati selama kurang lebih 1 minggu, Bupati Daniel Banunaek tetap bersikukuh tidak mau menemui masyarakat. Alasan yang disampaikan Bupati, bahwa dia telah bertemu dengan wakil masyarakat (Melky Sedek Oematan dan Willian Oematan) pada hari Senin, 27 November 2006 di kantor Sekda. Disamping itu Bupati juga menyatakan bahwa untuk mencabut ijin tambang perlu proses sehingga masyarakat diminta untuk pulang dan menunggu proses tersebut.

Sikap dan pernyataan Bupati tersebut tidak menyurutkan masyarakat untuk tetap bertahan. Kepercayaan masyarakat terhadap Bupati sudah diambang titik nol dan mereka sudah tidak percaya lagi terhadap Bupati. "Dalam memberikan ijin tambang saja Bupati tidak/ tanpa proses, kenapa ketika mencabut Bupati memerlukan proses" ujar Ny.Lodia Oematan. Keyakinan sementara dari masyarakat, jika mereka mengikuti himbauan dari Bupati maka masyarakat akan tertipu kembali dengan janji-janji yang telah diberikan, untuk itu masyarakat bertekat untuk tetap bertahan.

Meskipun tidak bisa ketemu Bupati, masyarakat telah bertemu dengan wakil Bupati sebanyak dua kali (Sabtu, 25/11/06 dan Senin, 27/11/06).  Dalam dua kali pertemuan Wakil Bupati menjanjikan untuk mempertemukan masyarakat dengan Bupati namun sampai dengan saat ini ternyata Wakil Bupati juga tidak mampu mempertemukan. Dalam hal ini terkesan Wakil Bupati juga tidak berani secara tegas untuk mendukung gerakan masyarakat.

Sikap kurang tegas juga ditunjukkan oleh anggota DPRD Kabupaten TTS yang juga belum menunjukkan komitment mereka secara sungguh-sungguh. Beberapa kali pertemuan dengan anggota DPRD tidak menghasilkan apapun sampai dengan saat ini. Hal yang lebih aneh lagi, yaitu ketika pada hari Senin (27/11/06) tiga anggota DPRD mendatangi massa dan mereka bilang bahwa mereka tidak tahu apapun tentang peristiwa ini dan meminta ketemu dengan masyarakat bukan dalam kapasitas sebagai anggota Dewan (aneh sekali) namun sebagi individu.

3. Rencana Kedepan
Aksi pendudukan kantor Bupati maupun lokasi tambang di desa Kuanoel masih akan terus dilakukan oleh masyarakat sampai dengan Bupati mau menemui masyarakat dan mencabut ijin tambang. Mobilisasi massa dari desa-desa yang lain direncanakan akan dilakukan dalam minggu-minggu depan (masih dalam pembicaraan, terkait dengan kekuatan logistik) sehingga diperkirakan massa bisa mencapai 500-600 orang.

Rencana yang lain massa juga akan turun ke Kantor Gubernur agar Gubernur segera memberi peringatan kepada Bupati. Desakan kepada Gubernur ini juga masih dalam tahap pembicaraan di tim untuk mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Disamping beberapa rencana diatas, pada saat ini tim litigasi telah melayangkan surat klarifikasi ke Bupati terkait dengan ijin pertambangan. Surat klarifikasi tersebut telah dikirimkan pada hari Selasa, 28 Novemberr 2006 ke Bupati dan akan kita tunggu bagaimana jawaban yang akan diberikan ke Bupati atas surat klarifikasi tersebut.

Disamping itu beberapa altrenatif lain proses litigasi telah didiskusikan oleh tim untuk memperkuat gerakan masyarakat diantaranya adalah; Judicial Review, PTUN, Clas Action dll yang akan kita putuskan kemudian.

Masukan, dukungan dan support kawan-kawan untuk membantu perjuangan masyarakat desa Kuanoel, Fatumnasi dan desa lainnya masih sangat dibutuhkan. Kawan-kawan bisa juga menghubungi langsung dilapangan untuk mengetahui situasi lapangan di nomor;

1. Melly Oematan/ Pak Mel : 081353743746
2. Mak Leta : 081318967319
3. Theos/ Arit via HP Yati : 085239329345



 

11.20.2006

Call for Action

CALL for ACTION

DEMAND THAT HEAD of SOUTH CENTRAL TIMOR DISTRICT WITHDRAW ALL MINING PERMITS
in the MOUNTAINS of MOLLO



The indigenous people of Mollo in South Central Timor District (TTS) again took action to defend the sustainability of the sources of their life from damage by the marble mining industry. This time, the PT Teja Sekawan company (Surabaya) wanted to split the Fatu Ob/Fatu Lik rock in Kuanoel Village, Fatumnasi Sub-district of TTS to cut it into blocks of marble for international export.

With perserverance in opposing the intimidation of armed thugs, the indigenous people of Mollo succeeded in forcing PT Teja Sekawan to stop its operations for the time being after a one month sit-in at the mining site. The people also demand that the Head of South Central Timor District withdraw PT Teja Sekawan’s mining permit. However, the District Head has only been willing to freeze the company’s permit for awhile and will form an Independent Team to evaluate the suitability of mining efforts in the mountains of Mollo.

Formation of an Independent Team is often used as a tool to deceive people when, in the end, the exploitation of nature still continues with the excuse that there has been scientific research. Therefore, in order to realize the safety and welfare of the people in the mountains of Mollo the Total Cessation of All Kinds of Mining Efforts must be executed.

We invite the participation of friends to give support to the Mollo indigenous people’s struggle by sending a letter to the Head of South Central Timor District so he will withdraw all permits for mining in the mountains of Mollo.

Send your letters to the following fax numbers:
South Central Timor (TTS) District Head 0388-21137
South Central Timor (TTS) District People’s Assembly 0388-21365
South Central Timor (TTS) District Chief of Police 0388-21400

Copies:
Governor of East Nusa Tenggara (NTT) Province 0380-821520
East Nusa Tenggara (NTT) Provincial People’s Assembly 0380-829453
East Nusa Tenggara (NTT) Provincial Chief of Police 0380-821544
Ombudsman Commission of East Nusa Tenggara (NTT) Province 0380-839367
National Commission for Human Rights (Komnas HAM) 021-3925227

Attached is a sample protest letter you can edit. You can access the latest news about the actions of the people of Mollo at http://rakyatmollo.blogspot.com/. Please distribute this CALL to ACTION to members of your network/s.

By sending a letter, you can prevent damage to the mountains of Mollo that are important as repositories for water and help the people to defend their rights. You can see the mountain rock that has been turned into chunks of marble at http://www.teja-marble.com/product.html

Salam for Eternal Justice,


Adi Widyanto
---------------
Campaigner
Mining Advocacy Network (Jaringan Advokasi Tambang, JATAM)
Jl. Mampang Prapatan II/30 Jakarta 12790
Indonesia
Telp/Fax 021-7941559



OPEN LETTER


Re : Demand to Withdraw Mining Permits in the Mountainous Region of Mollo

To:
1. Head of South Central Timor District
2. South Central Timor District Chief of Police
3. South Central Timor District People’s Assembly Chair

Copies:
1. Governor of East Nusa Tenggara Province
2. East Nusa Tenggara (NTT) Provincial People’s Assembly Chair
3. East Nusa Tenggara (NTT) Provincial Chief of Police
4. Ombudsman Commission of East Nusa Tenggara (NTT) Province
5. National Commission for Human Rights (Komnas HAM)

With respect,

Through this letter we wish to express our regret for the drawnout conflict of the indigenous people of Mollo with PT Teja Sekawan. As you know, this conflict began with permission to mine the Fatu Ob/Faut Lik rock in Kuanoel Village, Fatumnasi Sub-district that was issued to PT Teja Sekawan by the South Central Timor District Head without consultation or considering the interests and safety of the people. The granting of permits in this manner injures the enthusiasm for democracy that should be upheld by government authorities from the central to the regional levels.

The indigenous peoples of Mollo have long lived and depended on local preservation of nature such as water sources, farmland and forests that are the source of their life and income. Several previous experiences indicate that the mining of rock brings damage to nature and finally is a loss for those who live around it.

The following impacts have already been caused by previous mining of a rock, namely Mt. Naetapan, Tunua Village, Fatumnasi Sub-district:
1. According to villagers in and around Tunua, the presence of the marble mining company has not given them any benefits. Besides the company not employing one single local villager, promises to build a health facility and a church were never fulfilled.
2. Cutting the rock has caused the earth to easily erode. Besides threatening the safety of villagers, the erosion also has eroded their farmland.
3. Pollution of water source has resulted from marble dust that pollutes the river when, in fact, this river is used for various needs from bathing to washing clothes.
4. Drought. This mountain rock is in a region that holds water for local water sources. The disappearance of the mountain rock due to mining results in drought during the dry season.
5. Disturbance of Crops. Mining bans people from using their farmland. As much as 25 hectares of agricultural fields have been snatched by the marble company. As a result the production of crops has been reduced and so also the acquisition of money. Several kinds of annual crops such as oranges have withered and died because they were flooded by water that had been used to drill/rinse the marble rocks.

We warn Mr. District Head that marble mining in the region of the Mollo mountains is an act of mass suicide. This region is an area that catches water that feeds into two large riverbeds on Timor Island, Benanain and Noelmina. Hunders of springs in Mollo and surrounding the feet of Mollo mountains greatly depend on the existence of limestone/marble mountains in Mollo.

The mining of the rock also causes people to be torn apart by horizontal conflicts as well as experience intimidation and violence, both from police as well as armed thugs who threaten their safety. We can surmise it is unwise for a government decision when it does not insure welfare but rather the suffering of the people.

Therefore we urge:
1. The Head of South Central Timor District to immediately withdraw all Written Permits for Mining in the Region of Mollo Mountains;
2. The Chief of Police of South Central Timor District to order his forces to stop mining activities as well as stop their own acts of intimidation and terror of the people and their supporters;
3. The Chair of the South Central Timor District People’s Assembly to be pro-active in handling this case and to admonish all state authorities who abuse their authority.

Thus is this letter we send to be followed up as needed.

Jakarta, 14 November 2006


Respectfully,



Name, Institution

Membangun Kolektivitas

Up date Situasi Lapangan
Jum-at, 17 November 2006
"Membangun Kolektivitas"
Pada saat ini masyarakat Desa Kuanoel dan Fatumnasi serta beberapa masyarakat desa tetangga masih tetap bertahan menduduki lokasi tambang walau musim tanam telah tiba. Masyarakat; Mamak-mamak,Bapak-bapak, para pemuda/i, anak-anak tidak mauberanjak/ meninggalkan sedikitpun lokasi tambang walau sudah berjalan satu bulan lebih.Udara yang cukup dingin dengan angin yang berhembus cukup kencangpada waktu malam hari, jadwal makan yang tidak menentu yang kadang hanya makan ubi saja dan air minum yang kadang berwarna kecoklatan tidak menyurutkan masyarakat untuk menghentikan pendudukan.

Untuk menghilangkan rasa jenuh, para mamak-mamak membawa kapas untuk dijadikan benang serta membawa alat pemintal mereka untuk membuat kain tenun yang akan mereka jual/ berikan ketika ada orang yang membutuhkan.Meninggalkan lokasi berarti telah memberi ijin kepada pihak perusahaan untuk melanjutkan kerja. Meninggalkan lokasi berarti telah meninggalkan batu sendirian untuk menghadapi para pekerja dan preman bayaran dan itu tidak dikehendaki masyarakat."Kita akan tetap bertahan disini walau berapa orang-pun, walau hujan datang dll untuk menunjukkan penolakan Kita terhadap perusahaan sehingga biar Bupati tahu", begitu kata Mama-mama dan Bapak-Bapak disana. Para Mama-mama ini akan segera berlari menghadang excavator jika mesin berbunyi dan itu sudah ditunjukkan beberapa kali oleh mereka walau resikonya sangat tinggi (Baca kronologi Semi Lengkap dari Lapangan Aksi Tolak Tambang Ds.Kuanoel tanggal 2 November).
Kebersamaan dan kolektivitas terus dibangun oleh masyarakat untuk melakukan perlawanan. Para mama-mama dan Bapak-bapak membawa sayur-mayur,ubi-ubian, pisang, kayu bakar yang diambil dari kebun untuk makan selama pendudukan. Beras sering mereka ambil terlebih dahulu dari toko(berhutang) dan baru mereka bayar ketika sudah dapat dana. Anak-anakmuda (laki dan perempuan) pergi ambil air yang harus berjalan kurang lebih 2 kilometer karena air di sekitar lokasi sudah tidak dapat mereka pakai karena sudah tercemar.
Keteguhan masyarakat desa Kuanoel dan Fatumnasi untuk menjaga batu bisa dilihat pula pada saat mereka melakukan pengusiran terhadap Tim dari Kabupaten yang datang ke lokasi pada hari Selasa,13 November 2006.Alasan pengusiran oleh masyarakat yaitu; bahwa mereka tidak membutuhkan dan tidak mau bertemu dengan Tim dari Kabupaten maupun yang lain karena tidak ada manfaatnya. Mereka hanya mau bertemu dengan BUPATI yang harus segera mencabut ijin pertambangan di seluruh wilayah Molo. Bagi masyarakat sudah tidak ada alasan lagi bagi Bupati untuk tidak mencabut ijin pertambangan dan masyarakat sudah tidak maudibodohi oleh siapapun.
Alasan lain pengusiran Tim dari Kabupaten adalah mereka mencoba mengintimidasi dan mencari-cari informasi keterlibatan orang-orang luar (PIKUL dan OAT) agar segera keluar dari lokasi. Mereka menuduh orang-orang luar sebagai provokator, penghasut masyarakat yang harus keluar dari Fatumnasi.Kasus serupa pernah terjadi pada awal aksi ketika Kapolsek (YahyaSehlan) datang ke lokasi dan meminta KTP orang-orang luar namunKita tolak sehingga Kapolsek menginstruksikan untuk menangkap Kita.Atas dua alasan tersebut kemudian Mama-mama mengusir dan mengantar TIM untuk masuk ke mobil dan segera meninggalkan lokasi.
Sebagai langkah perjuangan selanjutnya, masyarakat berencana untuk melakukan pendudukan kantor Bupati yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini (waktu belum ditentukan karena masih terus kita bahas danlihat perkembangan). Pendudukan ke kantor Bupati ini merupakan aksi perlawanan langsung yang ingin ditunjukkan masyarakat kepada Bupati bahwa seluruh masyarakat menolak pertambangan dengan alasan apapun.Bupati atau siapapun tidak memiliki hak untuk memberikan ijin pertambangan sehingga SELURUH PERTAMBANGAN DI MOLO HARUS DIHENTIKAN.
Kebersamaan, kolektifitas dan komitment kembali ditunjukkan masyarakat untuk mempersiapkan pendudukan. Pada saat ini telah dibangun sebuah tim/ kelompok untuk melakukan penggalian dana. Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah setiap kelompok/tim akan bekerja mengolah lahan milik masyarakat dengan mendapat upah/ imbalan sebesar Rp. 20.000 untuk setiap are tanah yang mereka garap. Ada beberapa kelompok dan lahan yang mereka garap sekarang ini dan uang yang mereka dapat segera dikumpulkan kepada Tim yang telah dibentuk. Dari usaha ini masyarakat telah mampu mengumpulkan uang sejumlah Rp. 1.200.000,- (sampai dengan tulisan ini dibuat) dan masih akan terus bertambah untuk persiapan aksi pendudukan yang memang butuh banyak biaya. Dan selama bekerja tersebut, lokasi tambang tetap tidak ditinggalkan.
Kegigihan, keteguhan hati, komitment para Mama-mama, Bapak-Bapak,dan Anak-anak muda disana harus terus menerus kita support dan Kita jaga. Bentuk dukungan sekecil apapun dari Kita akan menambah keyakinan atas perjuangan yang mereka lakukan. Desakan ke Bupati, kampanye dimedia, mengunjungi lapangan atau bahkan support logistik akan mampu memberi semangat dan kesadaran kepada mereka bahwa, MEREKA TIDAK SENDIRIAN. Masih banyak KAWAN yang mendukung perjuangan ini.

Seruan Desakan untuk Bupati TTS

Tambang Bencana atau Bencana Tambang?
Tambang dan Produksi Resiko Atas Aset Penghidupan Rakyat Mollo
[1]
Oleh Jonatan Lassa[2]



1. Pendahuluan: Dialektika Tambang dan Bencana
Entah sejak kapan dimulai, kegiatan pertambangan selalu akrap dengan premanisme. Mulai dari premanisme dalam pengertian preman-preman secara harfiah, hingga pada bentuk “teror pembangunan” terhadap keberlanjutan penghidupan rakyat. Kualitas air, tanah dan penghidupan disekitar areal pertambangan sering menurun bahkan memamtikan. Perusahaan tambang kelas dunia pun, sadar akan peran mereka (sadar ataupun tidak sadar) bahwa tambang bisa menjadi suatu bentuk “terorist” pembangunan yakni berpotensi “memproduksi” bencana dan kerentanan penduduk sekitar, yang telah berabad-abad menggantungkan penghidupan mereka.
Sudah berabad-abad rakyat Mollo hidup. Rakyat Mollo sudah ada sebelum Indonesia sebagai negara lahir. Dan akan tetap hidup bila sumber daya alamnya tidak dirampas oleh kegiatan bernama pembangunan. Artinya, rakyat Mollo bisa hidup tanpa tambang. Usia tambang sangat pendek, bisa dihitung hari. Sedangkan rakyat Mollo membutuhkan sumber penghidupan yang menjamin anak cucu mereka beratus-ribu tahun.
2. Tambang, Bencana dan Konflik
Collier & Hoeffler (2000) lewat teorinya yang sangat terkenal yakni Greed and Grievance (kerakusaan dan kenestapaan) dalam kejadian-kejadian perang sipil terbukti bisa dipakai untuk secara menjelaskan kepentingan stakeholders konflik sumber daya alam di berbagai belahan bumi Nusantara, termasuk di Mollo.

Bagi penulis mengutip Collier and Hoffler, konflik (dan bencana) lebih dikemudikan oleh faktor kerakusan di satu sisi dan di sisi lain, kenestapaan dan keterpinggiran (grieviance) yang terus berkajang (persist). Seperti yang pernah diungkapkan Collier (1999): ”If economic agendas are driving conflict, then it is likely that some groups are benefiting from conflict and that these groups, therefore, have some interest in initiating and sustaining it”[3]. Konsep Greed (rakus) and Grieviance (nestapa) menjadi menarik untuk dipakai dalam menjelaskan Mollo saat ini.

3. Aliran Keutungan – Siapa Untung Siapa Buntung?
Tambang, konflik dan bencana bukanlah suatu hal yang baru. Profesor kawakan dari UCLA, Michael Ross (2003) dengan mempelajari konflik hot-spot di belasan negara di dunia, dan berujung pada kesimpulan bahwa banyak tragedi kemanusiaan (konflik dan perang) kerap berelasi dengan sumber daya alam (tambang), terutama dalam dua dekade terakhir. (Lihat juga paper terbarunya berjudul: ”A Closer Look At Oil, Diamonds, and Civil War” AR REVIEWS IN ADVANCE : 2006. 9:265–300).

Pada setting dan konteks yang lain, belajar dari Buyat, rakyat Mollo juga perlu ingat luka sosial dan fisik serta kematian yang menganga tanpa jawaban dari wajah-wajah tak berpengharapan dari Buyat?. Beberapa anak meregang nyawah, sebagian lainnya meratapi kenestapaan mereka karena ”realitas” memaksa mereka percaya pada misterius yang dipaksakan. Tingginya misteriusasi sebab penyakit yang melanda Buyat, merupakan salah satu cerita kelam relasi tambang dan bencana di Indonesia. Perdebatan berakhir dilevel metodologis. Extrapolasi kasus pun menemui jalan buntu. Ketidakpastian membuat kenestapaan merayakan kemenangannya, sekali lagi.

Tambang kerap dipercaya sebagai praktek pembangunan yang berkontribusi pada ekonomi nasional setidaknya di level makro dan meso. Contoh yang sering dipakai perusahaan tambang adalah peningkatan tenaga kerja, merupakan contoh positif selain profit dan pajak yang dibayarkan ke pemerintah pusat. Walaupun di level mikro (baca: akar rumput) bisa saja terjadi sebaliknya yakni pemiskinan, nestapa serta peminggiran dan penyangkalan terhadap hak-hak dasar rakyat lokal serta hak pengelolaan sumber daya alam rakyat lokal. Di level meso, para penjaga keamanan swasta (baca: preman) maupun negeri dan penguasa lokal berupaya keras melindungi investasi-investasi yang dianggap vital tersebut. Kuatnya sikap protektif pada sumber daya tambang dan industri tambang, membuat pelanggaran hak rakyat kecil menjadi kelaziman dan bukan kezaliman. Zero sum game merupaka takdir. Suatu kelaziman yang diciptakan dan berkajang di daerah-daerah tambang di Indonesia.

Konflik sumber daya alam dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)[4] yang terjadi diberbagai tempat di Indonesia, dari Papua, Timor, Buyat, hingga Aceh, banyak berelasi dengan tambang. Tambang pada titik ini menjadi sumber hazard (ancaman) tetapi juga mampu memproduksikan bencana buatan manusia (konflik berdarah), di mana harga nyawa manusia menjadi taruhan diberbagai tempat yang kaya akan sumber daya tambang.

Kaum positivis berlogika bahwa bukan tambangnya yang harus dihilangkan, tetapi resikonya yang harus dihilangkan. Logika memberikan jawaban tegas ”YA” untuk hal ini tetapi sebaliknya management resiko bisa berubah menjadi mitologi modern tentang management resiko, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi sebuah kepatutan karena tuntutan pembangunan industri demikian adanya.

Dialektika tambang dan bencana sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu ketika pengenalan manusia akan sumber daya tambang, sejak ribuan tahun sebelum masehi. Cerita dan fakta-fakta horor sepanjang 5000 km dari Aceh hingga Papua menjadi pelengkap cerita bahwa tambang tidak serta-merta merupakan kegiatan pembangunan, tetapi sebaliknya anti pembangunan.

Konsep resiko, yang oleh Giddens merupakan salah satu dari 5 faktor penting globalisasi, dianggap sebagai dewa penyelamat kaum pro tambang. Singkatnya, bukan tambangnya yang harus dihilangkan, tetapi resikonya yang harus dihilangkan. Betapa logisnya hal ini. Resiko bisa dikelolah. Namun buat para negative thinkers, yang kerap dituduh anti pembangunan, tambang bisa dianggap sebagai mitologi modern atas management resiko. Takdir mungkin harus menang bahwa tambang dan kemelaratan serta degradasi lingkungan pada saat yang sama bisa menjadi sebuah kepatutan.

4. Tambang: Technological Hazards VS Strategi Global
Data technological hazards Indonesia sejak tahun 1942 hingga 31 January 2006, menunjukan sedikitnya 8,050 orang meninggal akibat kecelakaan transportasi, tambang, kebakaran dan ledakan. Sedangkan sekitar 76,000 orang terkena dampaknya. (Lihat CRED 2006). Data yang disodorkan CRED tidaklah memperhitungkan peristiwa-peristiwa “silent emergency” disekitar tambang yang mana hak-hak korban dikhianati oleh industri tambang.

Sayangnya, data quantitative yang dimiliki oleh Center for Research of Epidemiological Disasters (CRED) ini tidak banyak membicarakan tentan tambang. Banyak kasus-kasus kecil yang tidak terdata. Wacana tambang dan bencanapun merupakan penemuan modern, walaupun faktanya sudahlah seusia penemuan manusia atas tambang.
Peristiwa bencana teknologi masih belum dilihat sebagai sebuah tantatangan dalam mencapai Millennium Development Goals (MDGs), dengan asumsi yang tidak sepenuh benar bahwa industri tambang hanyalah mengeksploitasi tapak ekologis yang kecil, dan memberikan kesempatan yang besar bagi pembangunan. Uang hasil tambang bisa menjadi “enabling conditions” bagi pembangunan lokal demi peng-sejarah-an kemiskinan (make poverty history).
Beberapa tahun sebelumnya, ahli bencana terkemuka dari Cambridge/Colorado University seperti Ilan Kelman dan Ben Wisner dari LSE & Orbelin College memulai wacana tentang perlunya sebuah lembaga internasional yang bernama Intergovernmental Panel on Disasters, sebuah kopian dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terdiri dari para ahli bencana dunia, yang dimandatkan untuk mendisain scenario global pengurangan resiko bencana.

Lahirnya Hyogo Framework merupakan momentum yang baik, karena beberapa hal penting terungkap secara eksplisit mengenai dialektika bencana dan pembangunan, bahwa di satu sisi, pembangunan berkontribusi pada bencana serta dalam realitas yang lain, bencana merusak pembangunan.

Hyogo framework, dilukiskan oleh Ben Wisner dan Peter Walker (Beyond Kobe - A Proactive Look at the World Conference on Disaster Reduction. 18-22 January 2005, Kobe, Japan), bukan ibarat sebuah “ad-hoc wish-list”, alias bukan air di daun talas. Hal penting yang diangkat adalah (1) Bencana berkaitan erat dengan pembangunan. Bahwa bencana dan pembangunan memiliki hubungan dialektis. Pada suatu saat, bencana merusak pembangunan dan membuat kemelaratan, dan pada saat yang lain pembangunan memproduksi bencana. (2) Pembangunan yang baik mereduksi bencana, pembangunan yang buruk menyebabkan bencana. (3) Pengetahuan yang baik dibarengi dengan data yang cukup merupakan dasar yang baik bagi perencanaan reduksi bencana yang effektif.

Framework Hyogo membuka jalan bagi lembaga PBB ISDR (International Strategy on Disaster Reduction) memfasilitasi dan menstimulasi target-target bersama di level internasional dan nasional menuju pengurangan resiko bencana sehingga jalan menuju visi bersama antara negara yang tertuang dalam MDGs tidak tertunda. Sungguh melegakan karena adanya komitmen bersama dunia untuk mencegah sebagian orang terjebak dalam kemiskinan dan kemelaratan yang berkajang akibat bencana, termasuk bencana yang bersumber dari tambang.

Kofi Anan pernah membuat pernyataan menarik ditengah keraguan banyak pihak atas investasi untuk mitigasi bencana yakni bahwa keutungannya yang paling nyata adalah ”disasters that never happend” di daerah rawan bencana. Pernyataan ini harus diperluas hingga meliputi daerah tambang.

Pesimisme kebencanaan Indonesia tentunya tidak bisa dibiarkan tumbuh liar hingga anak-anak ibu pertiwi terbunuh oleh musuh tak bernyawah yang harusnya bisa dicegah, asalkan saja, komitmen penguasa masih berpihak pada mereka yang lemah, rentan dan bahkan rapuh khususnya di daerah-daerah rawan bencana dan daerah tambang.

5. Mitos-Mitos Tambang
Menolak tambang secara radikal merupakan utopis, atau bahkan bentuk anomali logika manusia. Tambang tidak selalu buruk dan berdosa. Tambang tidak bisa dilihat dari kaca mata kaum fundamentalis extrimis yang melihat dunia secara hitam putih. Tambang merupakan bentuk livelihood manusia yang sudah sangat tua. Sebagai misal, kebudayaan emas dan perak sudah berusia sangat tua. Sejarah penjajahan dan penaklukan bangsa-bangsa sejak jaman sejarah bermuara pada penguasaan atas emas, salah satu jenis sumber daya tambang yang sudah sangat tua.

Bahwa ada praktek penghisapan dan pemiskinan dan bencana akibat penambangan mineral yang dibutuhkan manusia, adalah sebuah realitas yang perlu dicari jalan keluarnya.

Akan tetapi Joan Kuyek, National Co-ordinator, MiningWatch Canada mengungkapkan beberapa mitos-mitos pertambangan yang layak dicatat. Mitos pertama, adalah bahwa “pertambangan adalah tentang esktraksi mineral semata”. Pertambangan bukan sekedar ekstraksi mineral bumi tetapi lebih dari itu industri tambang hanya tertarik dengan keuntungan (profit) jangka pendek. Pembangunan berkelanjutan bukanlah agenda utama. Betapa tidak, direktur-direktur tambang MNCs biasanya digaji 200,000 – 300,000 US$. Sedangkan dibanyak tempat, penduduk-penduduk asli yang telah mendiami tambang hidup dibawah 1 US$ per hari.

Mitos kedua, mitos bahwa pertambangan hanya membutuhkan tapak ekologis yang kecil. Kenyataannya lubang-lubang raksasa akibat tambang bukan sesuatu yang gampang di bersihkan atau diurug kembali. Disamping tailings yang mengandung toxic yang selanjutnya bisa meracuni alam. Dampak ekohidlogisnya besar, hingga ke pada pencemaran air tanah.

Mitos ketiga, adalah bahwa ”komunitas senang dengan tambang”. Kenyataan: tambang tidak diterima oleh setiap orang di komunitas. Beberapa orang dari komunitas diuntungkan sedangkan sebagian lainnya termarjinalkan. Dari pengalaman di Nusa Tenggara Timur, seperti di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, para tuan tanah dan tua adat (land lords) buatan Penjajah Belanda dan Pemerintah menjual tanah adatnya dengan gampang tanpa mempedulikan bahwa ada mayoritas masyarakat lokal yang akan berhadapan dengan penurunan muka air tanah yang berkontribusi pada penurunan produksi, polusi udara yang meningkatkan penyakit ISPA akut, polusi air tanah yang menurunkan status kesehatan, konversi lahan hutan menjadi tambang, dan secara langsung memarginalkan bahkan mengeliminasi secara total komoditas-komoditas Non-Timer Forest Products (NTFP) atau hasil-hasil hutan non kayu seperti sangkar Burung Layang-Layang, hewan-hewan hutan kaya protein hewani yang gratis buat masyarakat miskin di sana, sejak ratusan tahun lalu.

Mitos ke empat yang sangat berelasi dengan Indonesia adalah bahwa “pemerintah adalah pelindung rakyat dan aturan hukum yang mengaturnya”. Kuyek mengatakan bahwa “Kenyataanya walaupun aturan ada, tapi “the devil is always in the details”. Kejahatan terletak pada detail dari aturan-aturannya, yang mana kontradiksi dan multi-interpretative, dan merupakan jalan toll menuju mal-praktek tambang.

AMDAL/EIA (Analisa mengenai dampak lingkungan atau Environmental Impact Assessment) ataupun yang lebih holistik yakni ESIA (environmental and social impact assessment) kerap dijadikan pintu masuk bagi kerusakan ekologis ketimbang melakukan mitigasi. Di titik ini, orang dapat terjebak melakukan the end justify the means (tujuan menghalalkan cara). Jadi entah AMDAL atau EIA ataupun ESIA kerap merupakan means yang akan secara sistimatis melakukan spiral kekerasan, sejak awalnya. Toh, dalam prakteknya di Timor, modal menggunakan pihak pemegang senapan untuk memulai intimidasi sejak awal.

Kelima, mitos Tambang dan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam banyak argumentasi, ekonomi tambang menjadi pembenaran atas degradasi lingungan. Industri tambang hampir tidak mendambakan komunitas yang kritis dan kuat. Yang diinginkan adalah sebaliknya. Embel-embel pembangungan komunitas (community development) sebagai bentuk Corporate Social Responsibility adalah bagian sistimatis pembodohan komunitas. Perubahan paksa dari masyarakat substiten dan semi-hunter-gatherer (meramu) seperti di Papua menjadi cash economy adalah sebuah kebersalahan (do harm approach).

Keenam, mitos bahwa “kita butuh raw minerals baru”. Banyak dari kebutuhan akan mineral kita bisa dilakukan dengan konservasi, recycling and menggunakan kembali. Properti dari logam memberikan keuntungan bagi penggunaan kembali (reuse). Tidak seperti material daur ulang lainnya seperti plastic dan kertas, logam lebih unggul dan secara berulang bisa daur ulang tanpa terjadi degradasi propertinya. Logam dari sumber sekunder sama baiknya dengan yang baru. Keuntungan ekologis dari daur ulang luar biasa besar. Sebagai misal, penghematan energy dengan daur ulang logam adalah sebagai berikut: Zn – 60%, Baja– 74%, Cu –85%, Alumunium – 95%. Untuk daur ulang Baja keuntungan yang diperoleh adalah bahwa dengan 90% penghematan material akan berkontribusi pada 86% reduksi emisi carbon, 40% reduksi sampah, 76% reduksi polusi air, dan 97% tailings.

Rasio Cost and Benefit Analyis menjadi lebih besar secara significant. Juga, tidak perlu dengan biaya urugan (landfilling) yang semakin besar. Kesempatan kerja untuk industri daur ulang juga lebih besar ketimbang kerja-kerja urugan dan buangan sampah industri (waste disposal).

Ke tujuh, “tambang di dunia ketiga lebih baik ketimbang di dunia pertama”. Joan Kuyek menyanggah mengingatkan relasi tambang di Tropis dan perubahan iklim. Untuk Indonesia, contoh ini telak karena tambang telah menyentuh daerah-daerah hutan konservasi. Dengan penurunan luasan hutan tropis karena tambang, maka daftar dosa tambang semakin banyak yakni dengan berkontribusi pada perubahan iklim dunia karena memperkecil carbon sequestration.

Jikalau Kuyek benar, maka dialektika tambang dan pembangunan tidak bisa menghasilkan kondisi ideal (first best) yakni bahwa tambang mereduksi kemiskinan, memaksimalkan ekonomi dan merupakan “enabling conditions” bagi komunitas pada berbagai level dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Ekonomi nasional pun tertolong, negara dan rakyat pun sejahtera.

Bila Kuyek benar, maka pilihan bagi rakyat sangat kecil yakni bahwa hanya akan terjadi Second Best atau Third Best. Selalu ada yang diperkaya, diuntungkan. Selalu ada yang dirugikan, dimiskinkan bahwa disingkirkan. Negara bahkan tak berdaya menerima takdir ini. Bila ini benar, maka Ross dan Collier, harus menerima nobel bidang social politik karena mereka telah meramalkan bencana, konflik, perang sipil di daerah-daerah kaya mineral.

6. Tambang dan Gender
Dampak tambang adalah bencana dalam banyak wajah. Sebagian korban berwajah peremuan. Ingrid Macdonald pernah membuat daftar dosa tambang terhadap gender, khususnya perempuan. Pertama, perusahaan tambang kerap bernegosiasi seputar benefit dan kompensasi dengan laki-laki, hal ini terjadi Bahkan dalam komunitas matrilineal dimana perempuan secara tradisional menjadi tuan tanah. Kedua, tambang tidak mengenali relasi saling tergantung antara agama dan kerohanian dengan perempuan asli dengan lingkungan mereka, manakala mereka menjadi pengungsi internal (IDPs).

Ketiga, perempuan memiliki sangat sedikit kontrol dan akses atas keuntungan-keuntungan (jangka pendek maupun jangka panjang) khususnya yang berkaitan dengan uang dan kesempatan kerja. Di lain pihak, perempuan tidak lagi memiliki akses atas penghidupan (livelihood) yang berbasis sumber daya alam. Peran dan tanggung jawab perempuan dipinggirkan. Beban kerja perempuan bertambah yang tercipta karena laki-laki bekerja pada tambang sedangkan perempuan harus bergantung pada tanggungan ekonomi rumah tangga dan penyediaan makanan dengan cara tradisional. Hal ini diperparah dengan degradasi lingkungan, tanah dan air. Perempuan masyarakat meramu (semi hunter gatherer) harus berjalan lebih jauh dari biasanya kerena sumber-sumber pangan semakin hari semakin jauh.

Bagi perempuan kepala keluarga, mereka semakin banyak beban. Dalam segala aspek kemanusian seorang perempuan, mereka termarginalkan. Belum terhitung kekerasan domestik yang kerap dialami mereka. Kehadiran industri tambang membuka kesempatan pada perkembangan HIV/AIDS dan ini menambah daftar kerentanan perempuan. Bisa disimpulkan, bencana tambang kerap berwajah perempuan dan merampas hak-hak perempuan.

7. PENUTUP
Perusahaan tambang harus sejujurnya mengakui bahwa tambang tidak netral. Industri tambang memiliki pada dirinya sendiri evil (kejahatan) dan devil (keiblisan). Perubahan paksa yang terjadi atas segala dimensi kehidupan dan penghidupan rakyat lokal sekitar tambang memiliki resiko-resiko yang tidak gampang dikelolah oleh pemerintah maupun perusahaan tambang demi kemaslahatan masyarakat lokal.

Alih-alih membangun lewat tambang, yang terjadi justru pemiskinan. Wajah ramah industri tambang masih merupakan kemewahan.
Mitigasi dampak haruslah didasarkan pada kalkulasi hak-hak dasar manusia. Bahwasanya tambanglah yang membawa berbagai bencana baru, mulai dari yang sifatnya ekologis, hingga yang sosiologis dan endemic seperti HIV/AIDs. Sehingga keliru besar ketika napsu untuk profit maximizing menafikan kewajiban modal alias industri tambang dan negara yang diuntungkan untuk membayar dan memenuhi hak-hak rakyat, terutama perempuan, yang termarjinalkan dalam segala hal.
Semoga Ross (1999) tidak benar ketika kembali menanyakan dan merefleksikan bahwa mungkin saja kekayaan tambang kita di Indonesia merupakan sumber daya kutukan (resource curse). Untuk membuktikan ramalan Ross salah, maka orang harus melakukan secara total management resiko dan mitigasi, yang di dasarkan pada kesadaran akan hak-hak rakyat daerah tambang.
Asumsi dasar dari modal dan extractive industri (termasuk tambang) dunia adalah profit maximizing, dan komitmen pada pembangunan masyarakat adalah artisifial semata penuh kesemuan adalah keniscayaan. Coba tilik kasus Mollo saat ini, mengapa kalau pertambangan itu baik, selalu melibatkan preman-preman lokal? Ini tentunya bertujuan agar ada konflik horisontal antara yang pro dan kontra.
Tulisan ini tidak memberikan rekomendasi muluk-muluk. Hanyalah satu hal bahwa resiko-resiko tambang akan dipikul seluruh masyarakat sedangkan aliran keuntungan dan uang tidak akan dimiliki oleh rakyat.
Kedengaran radikal? Mungkin. Tetapi radikalisme pembangunan dalam wajah tambang sudah banyak menelan nyawah manusia. (lihat Macdonald (2003) ‘Mining, Human Rights and Gender Equality’ Mining for whom?)
Dalam konteks yang lain ada yang mengatakan bahwa “sumber daya perang (resource wars)” sebagian disebabkan oleh perusahaan logging atau tambang yang ‘merampok lingkungan’ dan mengeluarkan orang yang sudah lama mendiami tanahnya atau menghilangkan segala penghidupan mereka yang bergantung pada tanah tradisional mereka.
Dalam konteks Mollo, Usif-Usif dan Fetor sudah sejak lama hidup dari rakyat. Rakyat yang menghidupi mereka bukan sebaliknya. Bila tidak ada rakyat, maka Usif kehilangan relevansinya. Wong, usif-usif yang ada sekarang pun adalah usif warisan penjajah belanda. Jadi kalau ada usif yang sok kuasa, jangan lagi didengar suaranya, karena sejak jaman Belanda, mereka adalah antek-antek penjajah yang kejam dan kerjanya memeras rakyat kecil (sadar atau tidak sadar). Bila mereka yang Usif dan aparat yang juga suka ber-gereja, tetapi tidak pro rakyat kecil, mereka adalah utusan-utusan setan alias serigala berbulu domba.
Kalau usif dan pemerintah lebih pentingkan kepentingan jangka pendek, maka rakyat yang baik harus berusaha mengingatkan mereka secara serius. Dalam hal ini, penulis setuju atas penolakan tambang di TTS, bukan hanya kasus Mollo. Tambang di Mollo adalah agenda strategis untuk merusak Mollo yang selama ini menjadi pasokan buah-buahan bagi TTS dan Kupang.
8. Referensi
Collier, P., and A. Hoeffler. 2000. “Greed and Grievance in Civil War.” World Bank Policy Research Working Paper 2355. Washington D.C.: World Bank.

DTE 39:6, Nov/98; DTE 47; Development Agression, Observations on Human Rights Conditions in the PT Freeport Indonesia Contract of Work Areas With Recommendations.
Gedicks, Al (2001), Resource Rebels: Native Challenges to Oil and Mining Corporations. Boston: Southend Press.
Kuyek, Joan (2004) Mining Myths. A presentation to the Citizen’s Mining Advisory Group1 MiningWatch Canada.
Macdonald, Ingrid (2003) ‘Mining, Human Rights and Gender Equality’ Mining for whom? Papua New Guinea mine affected communities conference
Motupore Island Mining Ombudsman, OCAA.

OCAA (2004) Mining Ombudsman Report 2004.

Ross, Michael (1999) “The political economy of the resource curse”. World Politics 51 pp. 297-322.
Ross, Michael (2003:2) “How Do Natural Resources Influence Civil War? Evidence from 13 Cases”. Department of Political Science, UCLA. Prepared for the Yale-World Bank project on “The Economics of Political Violence.”
Ross, Michael (2003) Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia. Department of Political Science UCLA Prepared for the Yale-World Bank project on “The Economics of Political Violence.”

Ross, Michael (2003) A Closer Look At Oil, Diamonds and Civil War. Annu. Rev. Polit. Sci. 2006. 9:265–300.

[1] Paper ini bukanlah paper ilmiah. Dibuat untuk mendukung masyarakat Mollo dalam upaya mitigasi bencana di Mollo, dengan cara tidak memberikan gunung-2 mereka ditambang untuk kepentingan sesaat.
[2] Penulis adalah pengamat Bencana Nasional, tamat S2 dari Inggris, sering menulis di Kompas dan Jakarta Post tentang Bencana. Juga adalah putra Mollo yang menganut prinsip bahwa ke-Mollo-an seseorang tidak bisa diklaim berdasarkan fam atau marga, melainkan kepedulian terhadap Mollo, dalam berbagai sektor. Bila ada yang berkeberatan dengan isi tulisan ini, maka prinsip ”pena melawan pena” seharusnya diterapkan dan bukan kekerasan ataupun premanisme yang kerap dipakai para pengusaha tambang dan pemerintah yang keji. Semoga, Bupati dan DPRD TTS sebagai orang-orang yang beragama, betul betul menerapkan prinsip ”kasihilah rakyat Mollo” seperti dirimu sendiri dan janganlah menjual rakyat Mollo dengan tambang yang membawa bencana penghidupan rakyat Mollo. Email: tanlas@telkom.net
[3] Paul Collier, The World Bank, April 10, 1999; Doing Well Out of War.
[4] Down to Earth Nr. 59 November 2003

11.14.2006

Solidaritas Perjuangan untuk Rakyat Mollo -english version

SOLIDARITY STRUGGLE for the PEOPLE of MOLLO
LMND EW NTT-PIKUL-DPK SRMK-SINODE-Rumah Perempuan-Cis Timor-PMPB-KURSOR
Sekber : Jln. Arjuna No.9 Kota Baru Kupang Tlp. 0380-830218 Fax. 833257



POSITION STATEMENT


SAVE THE PEOPLE’S FIELDS!!
SAVE THE WATER ON TIMOR ISLAND!!
REJECT MARBLE MINING!!


The people’s rejection of marble mining activities on Timor Island is nothing new. Various attitudes of rejection appear among the people, from writing reader’s letters to newspapers, sending delegations to dialog with the government, regional people’s assembly and mining companies, to mass si-down and blockade actions against mining activities that have recently led to the arrest and jailing of some people. Now the people of Soe’s South Central District are restless and struggling to reject mining activities. They are the people of Mollo, Fatumnasi Sub-district in South Central Timor District.

In general, rejection by the people is based on their enthusiasm to defend the well-being of nature and sovereignty of the fields that are the source of their livlihood, both of which relate to food production.

Unfortunately the people’s response has not changed the attitudes or the ways of thinking of policy-makers either from the level of the central government to the District Head, or in the legislature from the central to district levels.

FOUNDATION FOR POSITION

Marble mining activities certainly bring more suffering to the people than profits. The profits are only for the investors and those in the government aligned with them.

Those living around the mining site experience several forms of suffering:

1. the disappearance of agricultural fields due to confiscation by the mining company to build facitilities to support the mining or because the land is located on marble that is being mined;

2. the loss of people’s access to water, both water needed for daily living as well as water needed to water their crops. This is caused by the damage done to springs (in general many springs and underground rivers are found among marble hills), as well as to water pollution because of mining wastes;

3. various illnesses, especially skin diseases and stomach problems due to polluted water;

4. damage done to the culture of customs of the local people (in general for the people of the Island of Timor, marble hills are recognized as sacred and the place to carry out traditional rituals);

5. there is potential to experience human rights violations such as intimidation and repressive actions by police, the army and/or thugs protecting the interests of the capitalists;

6. for the people of Timor Island, marble mining operations, particularly in the areas of Mutis Peak (South Central Timor District) and Timau Peak (Amfoang District), threatens the availability of water and crop production. Several riverbeds that run through Timor have their headwaters in Timau and Mutis which are rich in marble.

Marble mining is also not an important matter for the people. Marble is not a basic necessity for people’s consumption (compared to water and food). Marble also is not basic material needed for the continuation of the economic system and the progress of human life (compared to the mining of oil, gas, coal, iron ore and aluminum). The greatest part of marble production only ends up as décor in the homes of rich people.

Only a very small portion of the profits produced by marble mining activities go to the government and used to serve the interests of the people. The majority of the profits from marble mining go to the company that takes away chunks of marble from Timor and processes it in other places to become a product whose value is far greated than the raw chunks. The investor enjoys his profits from the sale of marble, whose value has increased many times over, in the place from which he originates.

Can the mining of marble produce employment on Timor Island? Yes, but very little because the industry to process the marble is not located on Timor, whereas the loss experienced by the people is too great to count.

The attitude that should be taken in regard to marble mining is to SHUT IT DOWN.

Marble mining is different than mining oil and natural gas, coal or minerals that are needed as basic materials to produce various necessities. REGARDING THE MINING OF OIL AND NATURAL GAS, COAL OR MINERALS SUCH AS IRON ORE, COPPER AND ALUMINUM, besides the obligation to observe preservation of the environment, the position the government should take is NATIONALISATION OF THE MINING INDUSTRY, so that the profits that for all this time have been enjoyed by foreign capitalists can be transferred into the hands of the state to be improve and preserve the environment, and make available and serve various needs of the people.
DEVELOPMENT OF THE MINING PROBLEM IN FATUMNASI, MOLLO, SOUTH CENTRAL DISTRICT

1. Kuanoel, Fatumnasi, South Central Timor
- FautLik (a rock hill) that stands proudly in Kuanoel Village, (Fatumnasi Sub-district, South Central Timor District) is threatened by heavy equipment owned by PT. Teja Sekawan Surabaya, a marble mining company. FautLik is the next victim after Fatu Naitapan in Tunua, a neighboring village not far from Kuanoel, was mined in such a messy way. This was especially a mess after the resistance of the people in Naitapan was stopped by repression when protestors engaged in a blockade were arrested and detained by police and thugs who were hired by the company.

- Friends from PIKUL, LMND (Buce Brikmar) and others who visited Kuanoel Village on 6-8 November to monitor the situation noted an excavator, a large truck (Fuso) and various mining implements were still in Kuanoel Village, Fatumnasi Sub-district.

- Mining activities have been unable to procede smoothly due to opposition by women from Kuanoel and Fatumnasi who stood in the front to obstruct the excavator.

- Repressive forces (the military, police and paid thugs) always are guards for each of the capitalist’s interests. They carry weapons, approach the people and intimidate them so they will not demonstrate and will reject those from outside Mollo who come to give solidarity for the people’s resistance.

This is how things stood most recently from 6-8 November according to the observations of Colleague Buce Brikmar.

- Also, head of the division for Development Systems in South Central Timor (Maksi Oematan) played an important role in support for the mining and pressured the people on Tuesday, 7 November 2006 at 3.00 or 4.00 in the afternoon. He invited the people to the office of the Fatumnasi Sub-district Head (Camat), saying it was an official meeting of the South Central Timor District government. This was why the men and women were invited because he said he had observed the people carrying out their activities and that they were being coordinated by Mrs. Aleta Baun. If he was not mistaken, this woman’s organization, up to now, was still illegal. Therefore, the next morning Aleta Baun had to bring all attributes of her organization to his office. He also demonstrated discrimination towards the people. He asked them, “All of you have received cash subsidies [from the government] to help pay for increased fuel costs, haven’t you?” The people responded that they had. “You have all received rice aid for the poor, haven’t you?” The people responded that they had. This was followed by one sub-district civil servant who said: “They have sir, they have already received rice and that is what they are eating at the site of their demonstration.” Then Maksi Oematan responded, “Great, later you will all get more, ya?!” His cynical words directed at the people invited a harsh reaction because there is no relationship of the Bureau for Development Systems, the mining problem and organizations. It seems from the attitude of this man from Development Systems that he was present in his institutional capacity. In our judgment he has violated civil-political human rights, so we demand of the NTT Provincial People’s Assembly to immediately order the police (the police force of South Central Timor) to detain MAKSI OEMATAN for the period of 1 week.

2. The above problem led to restlessness of the people of Mollo in the Fatumnasi Sub-district so that on Wednesday, 8 November, the people of Fatumnasi carried out a protest action in Soe [the capital of South Central Timor District] in order to meet with the Head of South Central Timor District and to pressure him to immediately withdraw the mining permit. Nevertheless, this action apparently did not produce results.

ISSUES BEING WEIGHED

The people of Fatumnasi definitely reject the mining because:

- their fields are damaged and seized by mining activities;

- a spring is being tapped for mining interests and the muddied water threatens health and will in the end disappear once the rock has been mined;

- there is restlessness due to police and military going back and forth in their village;

- the wind that gusts down from the peak of Mt. Mutis will be many times more severe and will attack their homes and plants because Fautlik that protects them from the wind will be shaved away;

- a simbol of Mollo culture will be smashed (Fautkanaf – the people are guards of the rock and Oekanaf – guard of the water)

- the destruction of fields and the loss of available water will have an impact, namely reduced food production that will end in poverty and hunger;

- for the rocks around Mt. Mutis to be mined spells danger for the preservation of riverbeds throughout the island of Timor;

- this means the mining of Fautlik and other rock hills = Timor drought in the future = greater destruction in terms of food security = death for the children-grandchildren of all who live on Timor Island.

DEMANDS

Based on the issues above, we demand:

1. Of the NTT Provincial People’s Assembly

- to immediately visit the location of the mining conflict in Mollo, South Central Timor, and not simply listen to the complaints of the people while sitting behind a desk;

- to issue a political statement pressuring the NTT Governor to give an honest explanation regarding the situation of permission granted for marble mining that was once issued and to withdraw that permission if it is one of the basis that allows district heads throughout Timor to permit mining.

2. Of the Head of South Central Timor District

- to listen to the complaints and demands of the people

- to give attention to saving the ecology and food security on the island of Timor

by means of:

- withdrawing permission to mine in the region of Fatumnasi Sub-district in Mollo, South Central Timor District that has been given to marble mining companies;

- demanding that companies that have already operated or that are currently operating be held accountable for rehabilitating the environment that has been damaged as a result of their mining activities.


SAVE THE PEOPLE’S FIELDS!!
SAVE THE WATER ON TIMOR ISLAND!!
REJECT MARBLE MINING!!

Kupang, 08 November 2006

Signed


GREGORIUS DALLA
FIELD COORDINATOR

Surat Terbuka

Silahkan di Copy and Paste ke halaman anda....


SURAT TERBUKA



Hal : Tuntutan Pencabutan Ijin Penambangan di Kawasan Pegunungan Mollo





Kepada :

1. Bupati Timor Tengah Selatan

2. Kapolres Timor Tengah Selatan

3. Ketua DPRD Timor Tengah Selatan



Tembusan :

1. Gubernur Nusa Tenggara Timur

2. Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur

3. Kapolda Nusa Tenggara Timur

4. Komisi Ombudsman Nusa Tenggara Timur

5. Komnas HAM





Dengan hormat,



Melalui surat ini kami ingin menyampaikan penyesalan atas berlarut-larutnya konflik masyarakat adat Mollo dengan PT Teja Sekawan. Seperti diketahui, konflik ini bermula dari perijinan penambangan batu Fatu Ob/Faut Lik di Desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi yang diberikan oleh Bupati Timor Tengah Selatan kepada PT Teja Sekawan tanpa berkonsultasi dan mempertimbangkan kepentingan dan keselamatan warganya. Pemberian ijin dengan cara seperti ini telah mencederai semangat demokrasi yang seharusnya dijunjung para aparatur pemerintahan, dari tingkat pusat hingga ke daerah.



Masyarakat adat Mollo telah sangat lama hidup dan bergantung pada kelestarian alam setempat yang menjadi sumber penghidupan dan mata pencaharian mereka seperti sumber-sumber air, tanah pertanian, dan hutan. Berbagai pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa kegiatan penambangan batu membawa kerusakan bagi alam dan akhirnya merugikan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.



Setidaknya, dampak-dampak berikut telah terjadi akibat penambangan batu di lokasi sebelumnya, yaitu di Gunung Naetapan, Desa Tunua, Kecamatan Fatumnasi;

1. Menurut warga Desa Tunua dan sekitarnya, kehadiran perusahaan tambang marmer tidak memberi manfaat bagi mereka. Disamping tak satupun warga setempat yang dipekerjakan oleh perusahaan, janji-janji membangun fasilitas kesehatan dan gereja juga tidak pernah dipenuhi.

2. Pemotongan Gunung Batu menyebabkan tanah mudah longsor. Selain mengancam keselamatan warga, longsor juga menggerus lahan pertanian mereka.

3. Pencemaran sumber air. Terjadi akibat limbah serbuk batu marmer dibuang ke sungai. Padahal, sungai tersebut dipakai berbagai keperluan warga mulai mandi hingga mencuci.

4. Kekeringan. Gunung batu adalah wilayah tangkapan air yang memasok sumber-sumber air setempat. Hilangnya gunung batu akibat penambangan menyebabkan kekeringan di musim kemarau.

5. Rawan Pangan. Penambangan menggusur lahan-lahan pertanian masyarakat. Seluas 25 hektar lahan telah dicaplok pengusaha batu marmer. Akibatnya produksi pangan menurun, pemasukan keuangan pun kurang. Beberapa tanaman tahunan seperti jeruk menderita mati layu karena tergenang air bekas pencucian batu marmer.



Kami mengingatkan kepada Bapak Bupati bahwa penambangan marmer di kawasan pegunungan Molo adalah tindakan bunuh diri massal. Kawasan tersebut merupakan kawasan tangkapan air yang mengaliri dua Sungai terbesar di Pulau Timor, Benanain dan Noelmina. Ratusan mata air di Molo dan daerah kaki pegunungan Molo, amat bergantung pada keberadaaan kawasan pegunungan kapur/marmer di kawasan Molo.



Penambangan gunung batu juga menyebabkan masyarakat tercabik-cabik dalam konflik horizontal serta mengalami intimidasi dan kekerasan baik dari aparat kepolisian maupun preman bersenjata yang dapat mengancam keselamatan mereka. Kiranya tidak bijak jika keputusan pemerintah bukannya mendatangkan kesejahteraan tetapi malah menyengsarakan rakyatnya.



Oleh karena itu kami mendesak kepada :

1. Bupati Timor Tengah Selatan untuk segera mencabut semua Surat Ijin Penambangan di Kawasan Pegunungan Mollo

2. Kapolres Timor Tengah Selatan agar memerintahkan jajarannya untuk menghentikan kegiatan perusahaan serta tidak melakukan intimidasi dan teror kepada masyarakat dan pendampingnya.

3. Ketua DPRD Timor Tengah Selatan agar pro-aktif menangani kasus ini dan memberikan teguran kepada aparatur negara yang menyalahgunakan wewenangnya.



Demikian Surat ini kami sampaikan untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.



Jakarta, 14 November 2006





Hormat Kami,





Nama, Lembaga
SERUAN AKSI



TUNTUT BUPATI TIMOR TENGAH SELATAN CABUT SEMUA IJIN PENAMBANGAN DI PEGUNUNGAN MOLO





Masyarakat Adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) kembali bergerak mempertahankan kelangsungan sumber-sumber penghidupan mereka dari pengrusakan oleh industri tambang marmer. Kali ini PT Teja Sekawan (Surabaya) hendak membelah gunung batu Fatu Ob/Faut Lik di Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi, TTS guna dijadikan potongan-potongan marmer untuk diekspor ke manca negara.



Dengan kegigihannya melawan intimidasi para preman yang bersenjata, masyarakat adat Mollo berhasil memaksa PT Teja Sekawan menghentikan operasinya untuk sementara setelah lebih dari sebulan melakukan pendudukan di lokasi tambang. Warga juga menuntut Bupati Timor Tengah Selatan untuk mencabut ijin penambangan bagi PT Teja Sekawan. Namun Bupati hanya bersedia membekukan sementara ijin perusahaan dan akan membentuk Tim Independen untuk menilai kelayakan usaha penambangan di pegunungan Mollo.



Pembentukan Tim Independen sering dijadikan alat untuk mengelabuhi rakyat lalu akhirnya eksploitasi alam tetap dilanjutkan dengan dalih telah ada kajian ilmiah. Oleh karena itu, untuk mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat di Pegunungan Mollo harus dilakukan Penghentian Total segala jenis Usaha Pertambangan.



Kami mengundang partisipasi kawan-kawan untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat mollo dengan mengirim surat ke Bupati Timor Tengah Selatan agar mencabut seluruh perijinan pertambangan di Pegunungan Mollo.



Kirimkan Surat Anda ke nomor-nomor fax berikut ini:


Bupati TTS 0388-21137
DPRD TTS 0388-21365
Kapolres TTS 0388-21400

Tembusan:

Gubernur NTT 0380-821520
DPRD NTT 0380-829453
Kapolda NTT 0380-821544
Komisi Ombudsman NTT 0380-839367

Komnas HAM 021-3925227



Terlampir contoh surat protes. Anda dapat mengakses berita terbaru tentang aksi warga Molo di http://rakyatmollo.blogspot.com/. Sebarkan SERUAN AKSI ini kepada mitra jaringan anda.



Lewat sepucuk surat, anda dapat mencegah pengrusakan Pegunungan Molo dan membantu masyarakat mempertahankan hak-haknya. Anda dapat menyaksikan gunung batu yang telah berubah menjadi potongan marmer di http://www.teja-marble.com/product.html



Salam Lestari,





Adi Widyanto

---------------

Campaigner

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Jl. Mampang Prapatan II/30 Jakarta 12790

Telp/Fax 021-7941559

www.jatam.org

11.13.2006

Siaran Pers 10 November 2006

Siaran Pers 10 November 2006

JATAM AMAN WALHI

KONFLIK TAMBANG MARMER MEMANAS,

BUPATI ENGGAN CABUT IJIN PENAMBANGAN

Jakarta. Demi mempertahankan kelestarian kawasan pegunungan Mollo dan keberlanjutan penghidupan, para perempuan masyarakat adat Mollo tidak gentar menghadapi ancaman preman bersenjata sewaan perusahaan tambang marmer PT Teja Sekawan. Perusahaan ini masih ngotot ingin menguasai dan membelah batu-batu besar di pegunungan Molo meski terus mendapat perlawanan dari masyarakat adat Mollo. Setelah pada Agustus lalu perusahaan menggusur kebun warga dengan Ekskavator untuk membuat jalan, pada 2 November baru-baru ini PT Teja Sekawan mulai memotongi gunung batu.

Guna memuluskan niatnya untuk segera memindahkan gunung batu ke pabrik dan diolah menjadi potongan marmer, perusahaan menyewa beberapa preman yang ditugasi menakut-nakuti warga. Preman-preman ini harus berhadapan dengan para perempuan adat Mollo. Para preman bersenjata parang, pisau, dan bahkan pistol mengancam akan membunuh para perempuan itu jika mereka masih tetap duduk di atas batu. Bahkan ketika para perempuan tetap menduduki batu-batu, karyawan Teja Sekawan mulai memotongi batu. Akibatnya, tubuh tiga orang perempuan, yaitu mama Veronika, mama Mince dan mama Marselina diselimuti debu dari batu yang dibor.

Para perempuan adat Mollo mati-matian mempertahankan gunung batu dari eksploitasi oleh perusahaan. Mereka berani menghadapi ancaman preman yang disewa perusahaan karena jika gunung batu musnah, maka bencana akan datang. Mulai dari krisis air, tanah longsor, dan serangan hama tanaman. Gunung batu secara alamiah telah membentuk kesatuan ekosistem yang memiliki fungsi hidrologis dan pengendali longsor di kawasan pegunungan tersebut.

Situasi di Molo menjadi makin kritis karena tidak ada ketegasan aparat keamanan mengatasi situasi yang kian memanas. Bahkan ketika para preman diketahui membawa berbagai macam senjata, aparat hanya diam dan mengawasi, dan bukannya menangkap mereka. Setiap saat, keselamatan warga terancam oleh tindak kekerasan oleh para preman. Bahkan, sempat terjadi seorang preman hendak menyerang salah seorang perempuan tersebut, namun dapat dihalau oleh mama-mama yang lain serta para laki-laki Mollo.

Pejabat setempat, terutama Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), sama sekali tidak peduli atas konflik yang kian mengeras akibat ijin yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan keselamatan warga. Ketika masyarakat mencoba bertemu di kantornya Bupati tidak pernah ada seraya menolak mencabut ijin penambangan yang kontroversial tersebut. Warga yang kemudian menduduki kantor Bupati tidak juga diterima untuk menyampaikan sikapnya. Bupati memilih menghindar daripada bertemu dengan rakyatnya.

Pemerintah seharusnya bertindak arif dalam memandang persoalan investasi. Sudah terlalu banyak contoh dan pengalaman rakyat menjadi korban demi investasi dan kenyamanan bisnis pengusaha. Dalam kasus ini nampak sekali bagaimana pemerintah daerah yang mengeluarkan ijin penambangan bertindak sangat tidak bertanggungjawab, bersembunyi ketika konflik pecah. Masyarakat dibiarkan menghadapi preman bersenjata, sementara Bupati yang mengeluarkan ijin penambangan dan menjadi akar masalah justru pura-pura tidak tahu.***

Kontak Media

Adi Widianto (JATAM) 021-79181683, 081511655911

11.09.2006

Solidaritas Perjuangan untuk Rakyat Mollo

SOLIDARITAS PERJUANGAN untuk RAKYAT MOLLO

LMND EW NTT-PIKUL- DPK SRMK-SINODE-Rumah Perempuan-Cis Timor-PMPB-KURSOR

Sekber : Jln. Arjuna No.9 kota baru kupang Tlp. 0380-830218 Fax. 833257

________________________________________________________

PERNYATAAN SIKAP

SELAMATKAN LAHAN PANGAN RAKYAT !!

SELAMATKAN AIR DI PULAU TIMOR !!

TOLAK PERTAMBANGAN MARMER !!

Penolakan rakyat terhadap aktivitas penambangan Marmer di Pulau Timor bukan lagi hal yang baru. Berbagai macam bentuk sikap penolakan tampak dalam tindakan rakyat, mulai dari menulis di surat pembaca media massa, mengirim delegasi untuk berdiaolog dengan pemerintah, DPRD dan pengusaha, hingga aksi massa pendudukan dan blokade areal dan aktivitas pertambangan yang beberapa kali berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan rakyat. Kini rakyat di kabupaten SoE yang berbeda di Pulau Timor sedang resah dan berjuang untuk menolak aktivitas pertambangan. Mereka adalah rakyat Mollo kec. Fatumnasi, di Kabupaten TTS.

Penolakan rakyat umumnya dilandasi oleh semangat mempertahankan keselamatan alam dan kedaulatannya atas lahan mata pencaharian, dimana keduanya berhubungan dengan produksi pangan.

Sayangnya respon yang ditunjukan rakyat tidak kunjung mengubah sikap dan cara berpikir para penghasil kebijakan, baik itu Pemerintah pusat hingga Bupati, maupun jajaran legislatif dari pusat sampai kabupaten.

LANDASAN SIKAP

Aktivitas Pertambangan Marmer memang lebih banyak mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat, dari pada keuntungan. Keuntungan hanya menjadi milik pengusaha/investor dan pemerintah yang bersekutu dengannya.

Bagi rakyat di sekitar pertambangan, kesengsaraan yang dialami berupa:

1. Hilangnya lahan pertanian akibat dirampas oleh perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pendukung pertambangan maupun oleh karena letak lahan mereka di atas gugusan marmer yang ditambang

2. Hilangnya akses rakyat terhadap air, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, maupun untuk mengairi lahan pertaniannya. Hal ini disebabkan oleh rusaknya sumber mata air (umumnya bukit marmer terdapat banyak mata air dan aliran sungai bawah tanah), maupun oleh pencemaran air karena limbah pertambangan

3. Berbagai macam penyakit, terutama penyakit kulit dan perut karena pencemaran air.

4. Rusaknya budaya dan istiadat masyarakat setempat (umumnya bagi rakyat di Pulau Timor, bukit marmer adalah tempat yang disakralkan untuk melakukan upacara adat)

5. Potensial mengalami kekerasan HAM berupa intimidasi dan tindakan represif dari aparat kepolisian, tentara maupun preman yang melindungi kepentingan pemodal.

6. Bagi Rakyat di Pulau Timor, operasi tambang Marmer, terutama di Kawasan Pegunungan Mutis dan Timau, merupakan ancaman bagi ketersedian air dan produksi pangan. Berbagai macam DAS yang mengaliri daratan Timor bersumber dari Timau dan Mutis yang kaya dengan cadangan Marmer.

Tambang Marmer juga bukan hal yang penting bagi masyarakat. Marmer bukanlah kebutuhan pokok konsumsi rakyat (dibandingkan dengan air dan pangan). Marmer juga bukanlah bahan baku bagi kelangsungan sistem ekonomi dan kemajuan kehidupan umat manusia (bandingkan dengan tambang minyak, gas, batu bara serta biji besi dan aluminium). Sebesar-besarnya produksi marmer hanya berakhir sebagai pajangan penghias rumah orang-orang kaya.

Keuntungan yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan Marmer juga hanya bagian yang sangat kecil jatuh ke tengan pemerintah dan digunakan untuk melayani kepentingan rakyat. Paling besar keuntungan pertambangan Marmer jatuh ke tangan pengusaha yang membawa keluar bongkahan Marmer dari Timor dan mengolahnya di tempat lain menjadi produk yang bernilai jauh lebih tinggi dari pada bongkahannya. Di tempat asalnya, si investor menikmati keuntungan dari penjualan marmer yang nilainya sudah bertambah berkaki-kali lipat.

Apakah penambangan Marmer bisa membuka lapangan kerja di Pulau Timor? Ya, tetapi sangat sedikit karena industri pengolahannya tidak terletak di Timor. Sementara kerugian yang dirasakan rakyat, tidak terhitung besarnya.

Sikap yang seharusnya diambil bagi pertambangan marmer adalah PENUTUPAN.

Hal ini berbeda dengan penambangan Minyak dan Gas Bumi, Batu Bara ataukah logam yang memang sangat dibutuhkan sebagai bahan baku dan bahan bakar produksi berbagai macam kebutuhan. BAGI TAMBANG MINYAK DAN GAS BUMI, BATU BARA ATAUKAH LOGAM SEPERTI BIJI BESI, TEMBAGA DAN ALUMINIUM, selain wajib memperhatikan keselamatan lingkungan, sikap yang seharusnnya diambil pemerintah adalah

MENASIONALISASI INDUSTRI PERTAMBANGAN,

agar keuntungan yang selama ini dinikmati pemodal asing bisa beralih ke tangan negara untuk digunakan bagi perbaikan dan pelestarian lingkunganl, menyediakan dan melayani berbagai macam kebutuhan rakyat.

Perkembangan Persoalan Tambang Marmer di Mollo, Fatumanasi Kab. TTS

1. Kuanoel, Fatumnasi, TTS

- FautLik (bukit batu) yang berdiri gagah di Desa Kuanoel, (Kecamaten Fatumnasi, Kabupaten TTS) sedang berada di bawah ancaman alat berat milik PT. Teja Sekawan Surabaya, perusahan tambang Marmer. FautLik akan menjadi korban berikut, setelah Fatu Naitapan di Tunua, desa tetangga yang tidak jauh dari Kuanoel porak-poranda ditambang. Terutama setelah terhentinya perlawanan rakyat di Naitapan oleh represi, penangkapann dan penahanan puluhan peserta aksi blokade oleh aparat polisi dan preman yang menjadi centeng perusahaan.

- Pantauan kawan-kawan PIKUL, LMND (Buce Brikmar) dan yang mengunjungi Desa Kuanoel 6-7-8 Nopember, tampak excavator, truk besar (FUSO) dan berbagai peralatan dan perlengkapan tambang masih berada di desa Kuanoel kec. Fatumnasi

- Aktivitas penambangan belum berjalan lancar oleh perlawanan Kaum Perempuan Kuanoel dan Fatumnasi yang berdiri paling depan menghadang Excavator.

- Tetapi aparat represif (tentara dan polisi) dan preman bayaran selalu menjadi pengawal setiap kepentingan pemodal, menenteng senjata mendatangi rakyat dan mengintimidasi rakyat untuk tidak mmelakan aksi unjuk rasa dan menolak kedatangan oragan-orang dari luar Mollo yang memberi solidaritas terhadap perlawanan rakyat.

Situasi terakhir tanggal, 6-7-8 Nopember 06 atas pantauan Kawan Buce Brikmar.

- Demikian pula kabag TATAPEM TTS (Maksi Oematan) memainkan peran penting mendukung penambangan dan menekan rakyat pada hari selasa tanggal, 7 Nopember 2006 tepatnya jam 16.00 wit atau jam 3 sore

- Mengundang rakyat untuk hadir di kantor Camat fatumnasi dan mengatakan bahwa ini adalah rapat resmi pemda TTS. Karena itu saya mengundang bapak-ibu untuk menghadiri rapat ini, karena sejauh ini kami memantau rakyat melakukan aktifitas aksi dan yang mengkoordinir tentu saja ibu aleta baun karena, tidak salah ibu punya organisasi yang hingga saat ini masih illegal, karena itu kepada Aleta Baun agar, besok pagi segera membawa seluruh atribut organisasi ke kantor saya. Kemudian Sikap diskriminatif terhadap rakyat dengan mengatakan, kalian sudah terima uang BBM ?, rakyat menjawab, sudah- kalian sudah terima raskin kan? Rakyat menjawab sudah, dan dikatakan lanjut oleh salah satu oknum pegawai kecamatan sebagai berikut: sudah semua bapak, mereka sudah terima beras dan itu yang dipakai makan di tempat aksi, lalu maksi oematan menjawab bagus nanti kalian dapat lagi ya!! Dengan kata yang sinis terhadap rakyat, inilah yang kemudian mengundang reaksi keras, karena tidak ada hubungannya Dinas TATAPEM dengan masalah pertambangan dan Organisasi. Karena itu dari sikap Oknum TATAPEM yang hadir secara kelembagaan. Kami menilai telah melanggar HAM Sipil Politik dan dengan demikian kami menuntut kepada, DRPD Propinsi NTT untuk segera memerintahkan Pihak Kepolisian (POLRES TTS) untuk menahan MAKSI OEMATAN dari jangka waktu 1 minggu.

2. Dari persoalan diatas menjadi keresahan rakyat Mollo Kec. Fatumnasi maka pada hari/tanggal : rabu, 08 Nopember masyarakat fatumnasi melakukan aksi ke soe untuk menemui Bupati TTS dan mendesak segera mencabut ijin pertambangan. Namun aksi tersebut ternyata tidak membuahkan hasil.

Hal-hal yang dinilai:

- Rakyat Fatumnasi tentu saja menolak tambang, karena itu berarti:

- Lahan pertanian rusak dan terampas oleh aktivitas tambang

- Sumber air disedot untuk kepentingan penambangan, air keruh mengancam kesehatan dan pada akhirnya sumber air akan hilang ketika batu ditambang.

- Keresahan akibat aparat polisi dan tentara yang mondar-mandir di desa mereka

- Angin yang turun kencang dari Puncak gunung Mutis akan semakin berlipat-lipat kencang menerpa rumah rakyat dan tanamannya karena Fautlik yang berdiri menghadang angin akan dipangkas.

- Hancurnya simbol budaya Mollo (Fautkanaf—masyarakat penjaga batu, dan Oekanaf—penjaga air)

- Kerusakan lahan pertanian dan penurunan ketersediaan air berdampak pada turunnya produksi pangan, yang berujung pada kemiskinan rakyat dan kelaparan.

- Batu-batu di sekeliling Mutis di tambang berarti membahayakan keberlangsungan aliran air di DAS-DAS di seluruh pulau Timor.

- Itu berati penambangan Fautlik dan bukit-bukit batu lainnya = kekeringan Timor di masa depan = kehancuran lebih dalam ketahanan pangan = kematiann bagi anak-cucu setiap manusia yang hidup di atas Pulau Timor.

Tuntutan :

Berdasarkan hal-hal di atas, kami menuntut:

1. Kepada DPRD NTT untuk segera turun ke lokasi konflik pertambangan MOLLO TTS, dan tidak hanya mendengar keluhan rakyat di belakang meja. Serta

- Mengeluarkan sikap politik mendesak Gubernur NTT memberi keterangan yang jujur tentang posisi izin prinsip penambangan marmer yang pernah dikeluarkan dan mencabutnya jika izin tersebut masih menjadi salah satu landasan pemberian izin penambangan oleh bupati-bupati di Timor.

2. Bupati TTS, kami menuntut:

- Mendengarkan keluhan dan tututan rakyat

- Memperhatikan keselamatan ekologis dan ketahanan pangan pulau Timor

Dengan cara:

- Segera mencabut izin penambangan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan tambang Marmer di wilayah mollo kec. Fatumnasi TTS

- Menuntut Perusahaan yang telah atau sedang beroperasi bertanggungjawab merehabilitasi kondisi lingkungan yang rusak akibat aktivitas penambangan yang dijalankan.

SELAMATKAN LAHAN PANGAN RAKYAT !!

SELAMATKAN AIR DI PULAU TIMOR !

TOLAK PERTAMBANGAN MARMER !

Kupang, 08 Nopember 2006

Mengetahui

GREGORIUS DALLA

KORLAP