8.14.2007

Perempuan Molo; Pendobrak Kebisuan

Oleh: Kelik Ismunandar

Pengantar
Proses penolakan (baca=perlawanan) masyarakat desa Kuanoel-Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Propinsi Nusa Tenggara Timur terhadap rencana penambangan gunung batu Faut Lik dan Fatu Ob masih berlangsung sampai sekarang ini. Proses ini berawal dari dikeluarkannya Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) bernomor: 69/KEP/HK/2004 tertanggal 13 Juli 2004 oleh Bupati Kepala Daerah Tk II Kabupaten TTS, Drs. Daniel Banunaek. Berbekal surat yang diterima dari Bupati tersebut, PT. Teja Sekawan, sebuah perusahaan dari Surabaya, melakukan serangkaian kegiatan eksplorasi dan eksploitasi diwilayah ini.

Penolakan masyarakat Molo terhadap penambangan gunung batu (marmer) bukan hanya terjadi dalam kasus ini saja. Wilayah Molo merupakan satu wilayah/ hamparan yang kaya akan sumber daya alam sekaligus sebagai salah satu wilayah tangkapan air yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Wilayah ini dikelilingi oleh satu deretan gunung batu yang telah melahirkan/ mewariskan banyak persoalan. Sebagai salah satu wilayah yang kaya sumberdaya alam di Kabupaten TTS, pemerintah daerah selalu berusaha melakukan eksploitasi dengan dalih peningkatan pendapatan daerah serta pembangunan.

Berbagai rangkaian penolakan masyarakat terkait dengan penambangan batu marmer mulai marak tahun 1999 ketika PT. Karya Hasta dan PT. Kawan Setia Pramesti bermaksud mengeksploitasi batu marmer di wilayah Fatu Naususu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua di desa Fatukoto dan Ajaobaki. Rencana penambangan ini berhasil digagalkan oleh masyarakat yang mendapat dukungan penuh dari banyak pihak, khususnya LSM yang ada di Kota Kupang yang melakukan penolakan secara terus menerus.

Keberhasilan penolakan masyarakat terhadap penambangan di desa Fatukoto dan Ajaobak tidak diikuti di desa Tunua. PT. Sumber Alam Makmur (SAM) yang telah melakukan penambangan Fatu Naetapan di desa Tunua sejak tahun 2003. Penolakan masyarakat yang mengatasnamakan diri Aliansi Masyarakat Pemerhati Tambang Marmer Mollo baru dilakukan tiga (3) tahun setelah penambangan berjalan. Pada tanggal 6-7 Maret 2006 masyarakat melakukan pendudukan lokasi selama dua hari berturut-turut, namun perusahaan tetap melanjutkan kegiatannya (Pos Kupang, 10/3/06).

Penolakan lebih besar kemudian dilakukan masyarakat dengan melakukan aksi blokade yang berbuntut penangkapan terhadap masyarakat dan beberapa aktifis yang mendampingi. Penangkapan ini dipicu oleh serangan yang dilakukan para preman sehingga terjadi saling lempar antara pengunjuk rasa dan preman. Atas dasar kejadian ini Polisi memiliki alasan untuk membubarkan secara paksa aksi blockade yang dilakukan (Senin, 3/4/06). Buntut dari kerusuhan ini, lima puluh satu (51) orang warga dan aktifis ditangkap oleh Polisi dan enam belas (16) diantaranya ditahan dengan tuduhan pengrusakan (Siaran Pers TAPAL, AMAN, WALHI, JATAM tanggal 12 April 2006).

Keberhasilan pemerintah daerah meredam perlawanan masyarakat, kemudian dilanjutkan di desa Kuanoel-Fatumnasi (satu desa yang tidak jauh dari Tunua) persis empat (4) bulan setelah “kegagalan” tersebut. Berangkat dari pengalaman diatas, rencana penambangan Faut Lik dan Fatu Ob bisa jadi merupakan satu pintu masuk bagi pemerintah daerah dan perusahaan untuk melakukan penambangan yang lebih massive di wilayah ini. Hamparan gunung batu masih tersebar di sepanjang wilayah ini dan “kemungkinan besar” wilayah ini masih menyimpan sumber kekayaan alam lainnya yang siap untuk dieksploitasi

Perempuan Sang Pendobrak
Penolakan masyarakat Kuanoel-Fatumnasi terhadap penambangan marmer oleh PT. Tedja Sekawan Surabaya tidak bisa dilepaskan dari kegigihan/ peran perempuan (Para Mama) yang berdiri paling depan melakukan penolakan. Penolakan pertamakali dilakukan oleh dua orang perempuan (Etty Anone dan Yosina Lake/alm*) pada bulan Agustus 2006 ketika alat berat (excavator) mulai masuk dan merusak pagar lahan pekarangannya (24/8/06). Mama Etty Anone dan Mama Yosina Lake/alm tidak peduli ketika anggota Babinsa menegurnya dengan keras serta mengatakan,”Pekarangan itu adalah hak Mama Yosina dan kamu tidak boleh ikut campur!”. Mendapat teguran tersebut Etty Anone dengan lantang menjawab,”Kamu yang harus berhenti merusak kami punya batu!!” (http://rakyatmollo.blogspot.com, November 2006). Atas kegigihan dan perlawanan yang dilakukan dua orang perempuan ini, akhirnya pihak perusahaan mengurungkan niat menggunakan tanah milik Etty Anone maupun Yosina Lake untuk melakukan eksploitasi Faut Lik dan Fatu Ob dan mencoba menggunakan lahan penduduk lainnya.


Kegigihan tersebut kembali ditunjukkan oleh para mama ketika penolakan secara massive (bersama-sama) dilakukan pertamakali tanggal 14 Oktober 2006 lalu. Kurang lebih 100 orang Mama harus berhadap-hadapan dengan para pekerja tambang yang sudah memulai melakukan eksploitasi terhadap batu (marmer) yang berada tepat dipinggir gunung. Tanpa rasa takut, para Mama berteriak-teriak agar para pekerja tambang menghentikan seluruh kegiatan penambangan. Penolakan ini kemudian dilanjutkan dengan pendudukan lokasi tambang, dengan membangun tenda tepat didepan lokasi tambang selama kurang lebih tiga (3) bulan.

Peran para Mama yang berdiri paling depan dalam melakukan penolakan penambangan Faut Lik dan fatu Ob sangat berbeda dengan dua peristiwa sebelumnya (penolakan Fatu Naususu dan Fatu Naetapan). Bagi masyarakat Molo, hal ini merupakan satu catatan baru yang telah menjadi warna tersendiri bagi perjuangan masyarakat desa Kuanoel-Fatumnasi.

Kegigihan para mama untuk mempertahankan dan menolak kehadiran perusahaan yang akan mengeksploitasi Faut Lik dan Fatu Ob bukan tanpa alasan. Ada banyak alasan untuk melihat kegigihan para mama dalam mempertahankan wilayah yang saat ini menjadi sengketa. Wilayah Faut Lik dan Fatu Ob merupakan satu wilayah; sumber air, lahan pertanian, tempat tinggal, lokasi untuk ritus/upacara adat dsb. Dan masyarakat telah memanfaatkan wilayah ini selama puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.

Dalam struktur masyarakat yang masih mengedepankan lak-laki, para Mama memiliki peran yang cukup penting dalam wilayah yang lebih bersifat domestik. Para Mama inilah yang selama ini mengatur, mengelola, memperhitungkan seluruh hasil pertanian yang didapat dalam kurun waktu tertentu sampai dengan masa panen berikutnya. Artinya, para mama inilah yang akan bertanggungjawab terhadap seluruh pengelolaan dan pemanfaatan hasil panen untuk satu keluarga. Disamping memiliki kewajiban tersebut, para Mama juga memiliki kewajiban lain untuk tetap berada di kebun bersama para bapak pada musim tanam maupun panen.

Begitupula pemanfaatan gunung batu sebagai wilayah sumber air. Kita bisa menyaksikan para Mama membawa air yang diletakkan diatas kepala sambil menenteng air lainnya dengan tangan yang akan dibawa pulang. Dalam peran domestiknya, para Mama harus bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan rumah tangganya seperti; kebutuhan memasak, air minum dsb. Relasi yang kuat antara perempuan dengan lingkungan seperti inilah, yang mendorong kesadaran kritis para Mama untuk tetap mempertahankan wilayah mereka dari proses pengrusakan yang akan dilakukan oleh perusahaan tambang.

“Jika batu ini ditambang, darimana kami akan memperoleh air? Dimana kami akan berkebun?Bagaimana anak-anak Kami akan memperoleh makan dsb? Dimana kami akan tinggal?”, begitu ungkapan para Mama. “Kehidupan Kami selama ini telah ditopang oleh kehadiran gunung batu yang mampu memberi Kami makan,memberi Kami minum dan bukan perusahaan”, ungkap para Mama dalam satu waktu.

Atas dasar kondisi inilah, jika gunung batu ini ditambang maka yang akan terjadi adalah kerusakan alam/ lingkungan, pencemaran air, semakin sempitnya lahan,kerusakan tanah dsb. Berbagai kondisi tersebut akan berakibat pada penurunan hasil produksi pertanian yang selama ini telah menghidupi masyarakat. Penurunan hasil produksi akan semakin menyusahkan dan menyengsarakan para Mama karena merekalah yang harus bertanggungjawab untuk mengatur dan mengelolanya demi kelangsungan hidup keluarga.

Berangkat dari berbagai kondisi tersebut diatas, kegigihan para Mama yang selalu berdiri paling depan melakukan penolakan di desa Kuanoel-Fatumnasi menemukan muaranya. Bagi para Mama, penambangan gunung batu akan menambah kesengsaraan dan penderitaan bagi banyak orang dalam waktu yang sangat panjang termasuk untuk dirinya sendiri. Selamat berjuang Mama-mama Kami akan selalu berada di pihakmu.

Catatan:
*Mama Yosina Lake adalah salah seorang tokoh perempuan yang selalu berdiri paling depan ketika harus berhadapan dengan perusaahan. Namun umur Mama Yosina Lake tidak terlalu panjang untuk bisa menemani masyarakat melakukan penolakan. Mama Yosina Lake meninggal dunia pada tanggal 30 November 2006 setelah beberapa hari sebelumnya Mama Yosina Lake bersama dua orang perempuan lain harus berhadap-hadapan dengan para pekerja tambang yang melakukan pengeboran batu. (Baca; http://rakyatmollo.blogspot.com ,bulan November 2006)

8.09.2007

Surat Keberatan Kuasa Hukum

Surabaya 31 juli 2007


Kepada Yth;
Teman-Teman Wartawan
Di

NTT


Dengan Hormat,
Sehubungan dengan pengumuman yang dikeluarkan oleh PT Tedja sekawan surabaya tertanggal 31 juli 2007 tentang akan dimulainya proses penambangan batu marmer diwilayah Desa kuan Noel dan patum nasi kecamatan Fatumnasi Kabupaten TTS. Maka dengan ini kami sebagai kuasa hukum 8 warga pemegang hak atas tanah yang di tempat oleh penambangan akan mengajukan keberatan-keberatan sebagai berikut :
  1.  Bahwa ijin penambangan (SIPD) yang diguanakan oleh PT. Tedja sekawan surabaya adalah SIPD yang tidak prosedural atau tidak memenuhi syarat-syarat untuk diberikan ijin pertambangan berdasarkan UU NO> 11 Tahun 1967 JO perda TTS NO. 26 Tahun 2001.
  2. Bahwa SIPD tersebut tetap menggunakan data yang sudah daluarsa yaitu AMDAL Tahun 2000 pada hal dalam UU N0. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan telah tegas dinyatakan bahwa usia atau jangka waktu pemanfaatan AMDAL 5 Tahun dan apabila selama 5 Tahun AMDAL tersebut tidak digunakan maka AMDAL tersebut gugur atau tidak layak dijadikan syarat mendapatkan ijin pertambangan.
  3. Bahwa selain selai masalah AMDAL yang sudah daluarsa , SIPD yang dikeluarkan oleh Bupati juga patut diduga tidak ada surat kuasa penyerahan lahan oleh pemilik dan atau penguasa yang ditempati atau dijadikan luas wilayah Tambang dan patut diduga pula SIPD tersebut hanya menggunakan surat pelepasan lahan dari para tertua adat yang nota bene dalam UU N0. 11 Tahun 1967 tentang pertambangan tidak kenal pelepasan lahan oleh tertua adat.
  4. Bahwa dari uraian tersebut diatas disimpulkan bahwa tindakan PT . Tedja Sekawan yang akan memulai proses penambangan merupakan perbuatan ilegal karena ijin yang diberikan oleh Bupati TTS adalah ijin ilegal . Dengan demikian perbuatan Bupati yang memberikan penambangan oleh PT. Tedja Sekawan merupakan perbuatan melawan hukum yang hal ini dapat diproses secara hukum baik perdata maupun pidana .
Demikian pernyataan sikap kami atas proses pemambangan yang akan dilakukan oleh PT. Tedja Sekawan Surabaya tanggal 1 Agustus 2007

Hormat Kami
Kuasa Hukum

(ttd)
Mursyid Mudiantoro, SH
Advokat