Siaran Pers 10 November 2006
JATAM AMAN WALHI
KONFLIK TAMBANG MARMER MEMANAS,
BUPATI ENGGAN CABUT IJIN PENAMBANGAN
Jakarta. Demi mempertahankan kelestarian kawasan pegunungan Mollo dan keberlanjutan penghidupan, para perempuan masyarakat adat Mollo tidak gentar menghadapi ancaman preman bersenjata sewaan perusahaan tambang marmer PT Teja Sekawan. Perusahaan ini masih ngotot ingin menguasai dan membelah batu-batu besar di pegunungan Molo meski terus mendapat perlawanan dari masyarakat adat Mollo. Setelah pada Agustus lalu perusahaan menggusur kebun warga dengan Ekskavator untuk membuat jalan, pada 2 November baru-baru ini PT Teja Sekawan mulai memotongi gunung batu.
Guna memuluskan niatnya untuk segera memindahkan gunung batu ke pabrik dan diolah menjadi potongan marmer, perusahaan menyewa beberapa preman yang ditugasi menakut-nakuti warga. Preman-preman ini harus berhadapan dengan para perempuan adat Mollo. Para preman bersenjata parang, pisau, dan bahkan pistol mengancam akan membunuh para perempuan itu jika mereka masih tetap duduk di atas batu. Bahkan ketika para perempuan tetap menduduki batu-batu, karyawan Teja Sekawan mulai memotongi batu. Akibatnya, tubuh tiga orang perempuan, yaitu mama Veronika, mama Mince dan mama Marselina diselimuti debu dari batu yang dibor.
Para perempuan adat Mollo mati-matian mempertahankan gunung batu dari eksploitasi oleh perusahaan. Mereka berani menghadapi ancaman preman yang disewa perusahaan karena jika gunung batu musnah, maka bencana akan datang. Mulai dari krisis air, tanah longsor, dan serangan hama tanaman. Gunung batu secara alamiah telah membentuk kesatuan ekosistem yang memiliki fungsi hidrologis dan pengendali longsor di kawasan pegunungan tersebut.
Situasi di Molo menjadi makin kritis karena tidak ada ketegasan aparat keamanan mengatasi situasi yang kian memanas. Bahkan ketika para preman diketahui membawa berbagai macam senjata, aparat hanya diam dan mengawasi, dan bukannya menangkap mereka. Setiap saat, keselamatan warga terancam oleh tindak kekerasan oleh para preman. Bahkan, sempat terjadi seorang preman hendak menyerang salah seorang perempuan tersebut, namun dapat dihalau oleh mama-mama yang lain serta para laki-laki Mollo.
Pejabat setempat, terutama Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), sama sekali tidak peduli atas konflik yang kian mengeras akibat ijin yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan keselamatan warga. Ketika masyarakat mencoba bertemu di kantornya Bupati tidak pernah ada seraya menolak mencabut ijin penambangan yang kontroversial tersebut. Warga yang kemudian menduduki kantor Bupati tidak juga diterima untuk menyampaikan sikapnya. Bupati memilih menghindar daripada bertemu dengan rakyatnya.
Pemerintah seharusnya bertindak arif dalam memandang persoalan investasi. Sudah terlalu banyak contoh dan pengalaman rakyat menjadi korban demi investasi dan kenyamanan bisnis pengusaha. Dalam kasus ini nampak sekali bagaimana pemerintah daerah yang mengeluarkan ijin penambangan bertindak sangat tidak bertanggungjawab, bersembunyi ketika konflik pecah. Masyarakat dibiarkan menghadapi preman bersenjata, sementara Bupati yang mengeluarkan ijin penambangan dan menjadi akar masalah justru pura-pura tidak tahu.***
Kontak Media
Adi Widianto (JATAM) 021-79181683, 081511655911
Engin ummæli:
Skrifa ummæli