Pengantar
Rencana PT Teja Sekawan Surabaya melakukan penambangan batu marmer di Faut Lik dan Fatu Ob Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tanggal 25 Agustus 2006 mendapat penolakan dari masyarakat adat Desa Kuanoel. Ada beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi penolakan warga tersebut diantaranya; terkait dengan masalah administrative (ijin penambangan dari Pemerintah Daerah), ekonomis (persoalan jual beli tanah), politis (tidak dilibatkannya masyarakat adat dalam rencana penambangan), hak masyarakat (akses terhadap air, pangan, kesehatan), ekologis (keruskan lingkungan) sampai dengan masalah adat (pandangan masyarakat).
Kasus (baca; konflik) antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pengusaha terkait dengan masalah pertambangan telah terjadi berulang kali di daerah ini. Konflik yang terus menerus muncul ini berawal dari rencana Pemerintah Daerah yang akan melakukan usaha pertambangan (khususnya batu marmer) di Molo yang memiliki kandungan marmer cukup besar. Dari berbagai catatan yang ada, telah terjadi kurang lebih 12 kasus di wilayah ini terkait dengan usaha penambangan.
Rencana Pemerintah Daerah melakukan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari paradigma pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianut oleh Pemerintah. Dengan paradigma ini Pemerintah berpandangan bahwa segala kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dipandang sebagai modal yang akan menambah pendapatan negara/ daerah.
Disisi yang lain, rakyat berpandangan bahwa berbagai pertambangan yang dilakukan, tidak cukup memberi kontribusi yang signifikan terhadap perubahan nasib rakyat. Berbagai dampak negative dari usaha-usaha pertambangan lebih dominant diterima/ dirasakan oleh rakyat seperti; kemiskinan yang tetap saja terjadi, kerusakan lingkungan yang berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem sampai dengan terancamnya hak-hak rakyat atas air, pangan dan kesehatan.
Berangkat dari dua pandangan inilah konflik antara rakyat vs Pemerintah-Pengusaha terus saja terjadi dalam berbagai bentuknya. Rakyat selalu dalam pihak yang kalah atau dikalahkan ketika berhadapan dengan pengusaha (pemilik modal) dengan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penentangan. Penangkapan, pemenjaraan adalah satu hal yang biasa terjadi dalam kasus-kasus tambang.
Awal Konflik
Kasus yang saat ini sedang dialami oleh warga desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan mirip (memiliki ciri yang sama) dengan beberapa kasus pertambangan yang selama ini terjadi. Mirip maksud penulis disini terkait dengan cara-cara Pemerintah dan pengusaha untuk memperlancar usaha pertambangan ketika harus berhadapan dengan rakyat. Proses penyerobotan tanah, intimidasi/ terror, kriminilasasi, penggunaan aparat keamanan, pemberian janji-janji kepada masyarakat adalah beberapa contoh yang penulis maksud.
Dalam kasus yang terjadi di wilayah ini, penolakan warga diawali dari pengakuan pihak perusahaan yang telah melakukan proses ganti rugi kepada para pemilik tanah melalui Amaf. Disisi yang lain, warga yang memiliki tanah disekitar pertambangan (kurang lebih 103 Kepala Keluarga) tidak pernah merasa menjual tanahnya kepada siapapun.
Alasan lain yang digunakan oleh perusahaan adalah telah dimilikinya ijin penambangan dari Bupati, berupa Surat Keputusan (SK) Bupati Timor Tengah Selatan yang telah memberi ijin kepada perusahaan untuk melakukan penambangan. Pemberian ijin ini setidaknya disampaikan oleh perusahaan ketika menghadapi penolakan warga beberapa waktu lalu.
Jika kita lihat lebih jauh lagi, penolakan warga terhadap usaha-usahan pertambangan yang dilakukan di wilayah itu tidak hanya disebabkan oleh dua hal tersebut diatas. Ada kesadaran kritis yang dimiliki oleh warga dalam melihat efek dari usaha pertambangan yang akan dilakukan terhadap proses keseimbangan alam. Bagi masyarakat di wilayah Molo, batu (marmer) memiliki nilai yang sangat tinggi dalam menjamin kelangsungan hidup untuk ketersediaan air, tidak saja bagi masyarakat di wilayah itu namun juga untuk masyarakat di NTT secara keseluruhan.
Secara ekologis, posisi/ letak batu yang berada di puncak gunung merupakan salah satu wilayah tangkapan dan tendon air yang baik disamping hutan. Sebagai wilayah tangkapan air, Batu di wilayah Molo meruapakan sumber air (hulu) bagi sungai besar di Provinsi NTT yaitu Benenain dan Noelmina yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat. Jika batu ini ditambang/ dirusak maka keseimbangan ekologis, khususnya dalam ketersediaan air bagi masyarakat akan sangat terganggu apalagi wilayah NTT merupakan salah satu daerah yang selalu mengalami kekeringan setiap tahunnya.
Disamping alasan yang bersifat ekologis ada pula alasan yang didasarkan pada kultur/ kebudayaan masyarakat setempat. Batu yang sering mereka sebut Faot Kanaf memiliki hubungan langsung dengan sejarah enam belas marga masyarakat Molo yang tersebar di daratan pulau Timor. Hal inilah yang menentukan identitas masyarakat Molo, sehingga masyarakat tidak pernah mengenal istilah marmer untuk ditambang namun masyarakat mengenal batu yang telah menghidupi masyarakat selama ini.
Atas dasar beberapa alasan tersebut, konflik yang saat ini terjadi di Desa Kuanoel menemukan muaranya. Penolakan keras yang dilakukan masyarakat adat tidak hanya menyangkut nasib yang akan mereka alami secara langsung berupa penggusuran namun masyarakat adat telah memikirkan keselamatan dan kelangsungan hidup yang lebih besar yaitu masyarakat NTT.
Membangun Solidaritas
Sejauh pengamatan yang dilakukan penulis, respon masyarakat di luar desa Kuanoe terhadap kasus ini masih sangat rendah. Belum nampak dukungan yang dilakukan masyarakat (pihak luar) untuk melakukan penolakan tambang, padahal seperti kita ketahui bersama penolakan warga didasarkan pada keselamatan banyak pihak (masyarakat Provinsi NTT) terkait dengan ketersediaan air.
Kegagalan masyarakat desa Kuanoe menghentikan pertambangan akan berakibat sangat besar bagi masyarakat NTT secara keseluruhan. Tidak saja terkait dengan masalah ketersediaan air, tapi juga proses kerusakan alam (lingkungan), bahaya banjir, kekeringan, kekurangan pangan dsb yang akan dialami oleh masyarakat dengan melihat fungsi ekologis batu disini.
Perjuangan dan penolakan yang dilakukan oleh warga desa Kuanoe terhadap usaha pertambangan saat ini, tidak bisa dibiarkan sendirian. Penggalangan solidaritas harus mulai dilakukan dengan memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat di luar desa Kuanoe, membangun jaringan antar organisasi masyarakat sipil termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Organisasi Keagamaan dsb untuk memberikan dukungan secara nyata.
Belajar dari pengalaman yang lalu, kekalahan masyarakat dalam melakukan penolakan tambang, salah satunya adalah rendahnya solidaritas/ dukungan masyarakat. Solidaritas ini pula yang telah memberi pelajaran baik keberhasilan rakyat menolak PT. Karya Asta Alam yang akan melakukan penambangan batu Nausus dan Anjaf pada tahu 2000. Masyarakat yang berasal dari sebelas desa secara bersama-sama menduduki dan menolak pertambangan yang pada akhirnya berhasil mendesak Gubernur NTT, Piet A Tallo mencabut ijin pertambangan.
Rasa solidaritas dan kebersamaan seperti inilah yang saat ini harus mulai dibangun untuk menolak berbagai usaha tambang yang kurang memperhatikan keamanan, dan keselamatan lingkungan serta yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Jika hal ini tidak dilakukan, penderitaan dan kesengsaraan akan segara menyambut kita. Jika ini terjadi siapa yang paling dirugikan, rakyat khan?
[1] Penulis; Manager Advokasi dan Pengembangan Isu Perkumpulan PIKUL di NTT
Rencana PT Teja Sekawan Surabaya melakukan penambangan batu marmer di Faut Lik dan Fatu Ob Desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tanggal 25 Agustus 2006 mendapat penolakan dari masyarakat adat Desa Kuanoel. Ada beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi penolakan warga tersebut diantaranya; terkait dengan masalah administrative (ijin penambangan dari Pemerintah Daerah), ekonomis (persoalan jual beli tanah), politis (tidak dilibatkannya masyarakat adat dalam rencana penambangan), hak masyarakat (akses terhadap air, pangan, kesehatan), ekologis (keruskan lingkungan) sampai dengan masalah adat (pandangan masyarakat).
Kasus (baca; konflik) antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pengusaha terkait dengan masalah pertambangan telah terjadi berulang kali di daerah ini. Konflik yang terus menerus muncul ini berawal dari rencana Pemerintah Daerah yang akan melakukan usaha pertambangan (khususnya batu marmer) di Molo yang memiliki kandungan marmer cukup besar. Dari berbagai catatan yang ada, telah terjadi kurang lebih 12 kasus di wilayah ini terkait dengan usaha penambangan.
Rencana Pemerintah Daerah melakukan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari paradigma pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianut oleh Pemerintah. Dengan paradigma ini Pemerintah berpandangan bahwa segala kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dipandang sebagai modal yang akan menambah pendapatan negara/ daerah.
Disisi yang lain, rakyat berpandangan bahwa berbagai pertambangan yang dilakukan, tidak cukup memberi kontribusi yang signifikan terhadap perubahan nasib rakyat. Berbagai dampak negative dari usaha-usaha pertambangan lebih dominant diterima/ dirasakan oleh rakyat seperti; kemiskinan yang tetap saja terjadi, kerusakan lingkungan yang berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem sampai dengan terancamnya hak-hak rakyat atas air, pangan dan kesehatan.
Berangkat dari dua pandangan inilah konflik antara rakyat vs Pemerintah-Pengusaha terus saja terjadi dalam berbagai bentuknya. Rakyat selalu dalam pihak yang kalah atau dikalahkan ketika berhadapan dengan pengusaha (pemilik modal) dengan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penentangan. Penangkapan, pemenjaraan adalah satu hal yang biasa terjadi dalam kasus-kasus tambang.
Awal Konflik
Kasus yang saat ini sedang dialami oleh warga desa Kuanoel, Kecamatan Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan mirip (memiliki ciri yang sama) dengan beberapa kasus pertambangan yang selama ini terjadi. Mirip maksud penulis disini terkait dengan cara-cara Pemerintah dan pengusaha untuk memperlancar usaha pertambangan ketika harus berhadapan dengan rakyat. Proses penyerobotan tanah, intimidasi/ terror, kriminilasasi, penggunaan aparat keamanan, pemberian janji-janji kepada masyarakat adalah beberapa contoh yang penulis maksud.
Dalam kasus yang terjadi di wilayah ini, penolakan warga diawali dari pengakuan pihak perusahaan yang telah melakukan proses ganti rugi kepada para pemilik tanah melalui Amaf. Disisi yang lain, warga yang memiliki tanah disekitar pertambangan (kurang lebih 103 Kepala Keluarga) tidak pernah merasa menjual tanahnya kepada siapapun.
Alasan lain yang digunakan oleh perusahaan adalah telah dimilikinya ijin penambangan dari Bupati, berupa Surat Keputusan (SK) Bupati Timor Tengah Selatan yang telah memberi ijin kepada perusahaan untuk melakukan penambangan. Pemberian ijin ini setidaknya disampaikan oleh perusahaan ketika menghadapi penolakan warga beberapa waktu lalu.
Jika kita lihat lebih jauh lagi, penolakan warga terhadap usaha-usahan pertambangan yang dilakukan di wilayah itu tidak hanya disebabkan oleh dua hal tersebut diatas. Ada kesadaran kritis yang dimiliki oleh warga dalam melihat efek dari usaha pertambangan yang akan dilakukan terhadap proses keseimbangan alam. Bagi masyarakat di wilayah Molo, batu (marmer) memiliki nilai yang sangat tinggi dalam menjamin kelangsungan hidup untuk ketersediaan air, tidak saja bagi masyarakat di wilayah itu namun juga untuk masyarakat di NTT secara keseluruhan.
Secara ekologis, posisi/ letak batu yang berada di puncak gunung merupakan salah satu wilayah tangkapan dan tendon air yang baik disamping hutan. Sebagai wilayah tangkapan air, Batu di wilayah Molo meruapakan sumber air (hulu) bagi sungai besar di Provinsi NTT yaitu Benenain dan Noelmina yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat. Jika batu ini ditambang/ dirusak maka keseimbangan ekologis, khususnya dalam ketersediaan air bagi masyarakat akan sangat terganggu apalagi wilayah NTT merupakan salah satu daerah yang selalu mengalami kekeringan setiap tahunnya.
Disamping alasan yang bersifat ekologis ada pula alasan yang didasarkan pada kultur/ kebudayaan masyarakat setempat. Batu yang sering mereka sebut Faot Kanaf memiliki hubungan langsung dengan sejarah enam belas marga masyarakat Molo yang tersebar di daratan pulau Timor. Hal inilah yang menentukan identitas masyarakat Molo, sehingga masyarakat tidak pernah mengenal istilah marmer untuk ditambang namun masyarakat mengenal batu yang telah menghidupi masyarakat selama ini.
Atas dasar beberapa alasan tersebut, konflik yang saat ini terjadi di Desa Kuanoel menemukan muaranya. Penolakan keras yang dilakukan masyarakat adat tidak hanya menyangkut nasib yang akan mereka alami secara langsung berupa penggusuran namun masyarakat adat telah memikirkan keselamatan dan kelangsungan hidup yang lebih besar yaitu masyarakat NTT.
Membangun Solidaritas
Sejauh pengamatan yang dilakukan penulis, respon masyarakat di luar desa Kuanoe terhadap kasus ini masih sangat rendah. Belum nampak dukungan yang dilakukan masyarakat (pihak luar) untuk melakukan penolakan tambang, padahal seperti kita ketahui bersama penolakan warga didasarkan pada keselamatan banyak pihak (masyarakat Provinsi NTT) terkait dengan ketersediaan air.
Kegagalan masyarakat desa Kuanoe menghentikan pertambangan akan berakibat sangat besar bagi masyarakat NTT secara keseluruhan. Tidak saja terkait dengan masalah ketersediaan air, tapi juga proses kerusakan alam (lingkungan), bahaya banjir, kekeringan, kekurangan pangan dsb yang akan dialami oleh masyarakat dengan melihat fungsi ekologis batu disini.
Perjuangan dan penolakan yang dilakukan oleh warga desa Kuanoe terhadap usaha pertambangan saat ini, tidak bisa dibiarkan sendirian. Penggalangan solidaritas harus mulai dilakukan dengan memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat di luar desa Kuanoe, membangun jaringan antar organisasi masyarakat sipil termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Organisasi Keagamaan dsb untuk memberikan dukungan secara nyata.
Belajar dari pengalaman yang lalu, kekalahan masyarakat dalam melakukan penolakan tambang, salah satunya adalah rendahnya solidaritas/ dukungan masyarakat. Solidaritas ini pula yang telah memberi pelajaran baik keberhasilan rakyat menolak PT. Karya Asta Alam yang akan melakukan penambangan batu Nausus dan Anjaf pada tahu 2000. Masyarakat yang berasal dari sebelas desa secara bersama-sama menduduki dan menolak pertambangan yang pada akhirnya berhasil mendesak Gubernur NTT, Piet A Tallo mencabut ijin pertambangan.
Rasa solidaritas dan kebersamaan seperti inilah yang saat ini harus mulai dibangun untuk menolak berbagai usaha tambang yang kurang memperhatikan keamanan, dan keselamatan lingkungan serta yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Jika hal ini tidak dilakukan, penderitaan dan kesengsaraan akan segara menyambut kita. Jika ini terjadi siapa yang paling dirugikan, rakyat khan?
[1] Penulis; Manager Advokasi dan Pengembangan Isu Perkumpulan PIKUL di NTT
Engin ummæli:
Skrifa ummæli