11.20.2006

Seruan Desakan untuk Bupati TTS

Tambang Bencana atau Bencana Tambang?
Tambang dan Produksi Resiko Atas Aset Penghidupan Rakyat Mollo
[1]
Oleh Jonatan Lassa[2]



1. Pendahuluan: Dialektika Tambang dan Bencana
Entah sejak kapan dimulai, kegiatan pertambangan selalu akrap dengan premanisme. Mulai dari premanisme dalam pengertian preman-preman secara harfiah, hingga pada bentuk “teror pembangunan” terhadap keberlanjutan penghidupan rakyat. Kualitas air, tanah dan penghidupan disekitar areal pertambangan sering menurun bahkan memamtikan. Perusahaan tambang kelas dunia pun, sadar akan peran mereka (sadar ataupun tidak sadar) bahwa tambang bisa menjadi suatu bentuk “terorist” pembangunan yakni berpotensi “memproduksi” bencana dan kerentanan penduduk sekitar, yang telah berabad-abad menggantungkan penghidupan mereka.
Sudah berabad-abad rakyat Mollo hidup. Rakyat Mollo sudah ada sebelum Indonesia sebagai negara lahir. Dan akan tetap hidup bila sumber daya alamnya tidak dirampas oleh kegiatan bernama pembangunan. Artinya, rakyat Mollo bisa hidup tanpa tambang. Usia tambang sangat pendek, bisa dihitung hari. Sedangkan rakyat Mollo membutuhkan sumber penghidupan yang menjamin anak cucu mereka beratus-ribu tahun.
2. Tambang, Bencana dan Konflik
Collier & Hoeffler (2000) lewat teorinya yang sangat terkenal yakni Greed and Grievance (kerakusaan dan kenestapaan) dalam kejadian-kejadian perang sipil terbukti bisa dipakai untuk secara menjelaskan kepentingan stakeholders konflik sumber daya alam di berbagai belahan bumi Nusantara, termasuk di Mollo.

Bagi penulis mengutip Collier and Hoffler, konflik (dan bencana) lebih dikemudikan oleh faktor kerakusan di satu sisi dan di sisi lain, kenestapaan dan keterpinggiran (grieviance) yang terus berkajang (persist). Seperti yang pernah diungkapkan Collier (1999): ”If economic agendas are driving conflict, then it is likely that some groups are benefiting from conflict and that these groups, therefore, have some interest in initiating and sustaining it”[3]. Konsep Greed (rakus) and Grieviance (nestapa) menjadi menarik untuk dipakai dalam menjelaskan Mollo saat ini.

3. Aliran Keutungan – Siapa Untung Siapa Buntung?
Tambang, konflik dan bencana bukanlah suatu hal yang baru. Profesor kawakan dari UCLA, Michael Ross (2003) dengan mempelajari konflik hot-spot di belasan negara di dunia, dan berujung pada kesimpulan bahwa banyak tragedi kemanusiaan (konflik dan perang) kerap berelasi dengan sumber daya alam (tambang), terutama dalam dua dekade terakhir. (Lihat juga paper terbarunya berjudul: ”A Closer Look At Oil, Diamonds, and Civil War” AR REVIEWS IN ADVANCE : 2006. 9:265–300).

Pada setting dan konteks yang lain, belajar dari Buyat, rakyat Mollo juga perlu ingat luka sosial dan fisik serta kematian yang menganga tanpa jawaban dari wajah-wajah tak berpengharapan dari Buyat?. Beberapa anak meregang nyawah, sebagian lainnya meratapi kenestapaan mereka karena ”realitas” memaksa mereka percaya pada misterius yang dipaksakan. Tingginya misteriusasi sebab penyakit yang melanda Buyat, merupakan salah satu cerita kelam relasi tambang dan bencana di Indonesia. Perdebatan berakhir dilevel metodologis. Extrapolasi kasus pun menemui jalan buntu. Ketidakpastian membuat kenestapaan merayakan kemenangannya, sekali lagi.

Tambang kerap dipercaya sebagai praktek pembangunan yang berkontribusi pada ekonomi nasional setidaknya di level makro dan meso. Contoh yang sering dipakai perusahaan tambang adalah peningkatan tenaga kerja, merupakan contoh positif selain profit dan pajak yang dibayarkan ke pemerintah pusat. Walaupun di level mikro (baca: akar rumput) bisa saja terjadi sebaliknya yakni pemiskinan, nestapa serta peminggiran dan penyangkalan terhadap hak-hak dasar rakyat lokal serta hak pengelolaan sumber daya alam rakyat lokal. Di level meso, para penjaga keamanan swasta (baca: preman) maupun negeri dan penguasa lokal berupaya keras melindungi investasi-investasi yang dianggap vital tersebut. Kuatnya sikap protektif pada sumber daya tambang dan industri tambang, membuat pelanggaran hak rakyat kecil menjadi kelaziman dan bukan kezaliman. Zero sum game merupaka takdir. Suatu kelaziman yang diciptakan dan berkajang di daerah-daerah tambang di Indonesia.

Konflik sumber daya alam dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)[4] yang terjadi diberbagai tempat di Indonesia, dari Papua, Timor, Buyat, hingga Aceh, banyak berelasi dengan tambang. Tambang pada titik ini menjadi sumber hazard (ancaman) tetapi juga mampu memproduksikan bencana buatan manusia (konflik berdarah), di mana harga nyawa manusia menjadi taruhan diberbagai tempat yang kaya akan sumber daya tambang.

Kaum positivis berlogika bahwa bukan tambangnya yang harus dihilangkan, tetapi resikonya yang harus dihilangkan. Logika memberikan jawaban tegas ”YA” untuk hal ini tetapi sebaliknya management resiko bisa berubah menjadi mitologi modern tentang management resiko, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi sebuah kepatutan karena tuntutan pembangunan industri demikian adanya.

Dialektika tambang dan bencana sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu ketika pengenalan manusia akan sumber daya tambang, sejak ribuan tahun sebelum masehi. Cerita dan fakta-fakta horor sepanjang 5000 km dari Aceh hingga Papua menjadi pelengkap cerita bahwa tambang tidak serta-merta merupakan kegiatan pembangunan, tetapi sebaliknya anti pembangunan.

Konsep resiko, yang oleh Giddens merupakan salah satu dari 5 faktor penting globalisasi, dianggap sebagai dewa penyelamat kaum pro tambang. Singkatnya, bukan tambangnya yang harus dihilangkan, tetapi resikonya yang harus dihilangkan. Betapa logisnya hal ini. Resiko bisa dikelolah. Namun buat para negative thinkers, yang kerap dituduh anti pembangunan, tambang bisa dianggap sebagai mitologi modern atas management resiko. Takdir mungkin harus menang bahwa tambang dan kemelaratan serta degradasi lingkungan pada saat yang sama bisa menjadi sebuah kepatutan.

4. Tambang: Technological Hazards VS Strategi Global
Data technological hazards Indonesia sejak tahun 1942 hingga 31 January 2006, menunjukan sedikitnya 8,050 orang meninggal akibat kecelakaan transportasi, tambang, kebakaran dan ledakan. Sedangkan sekitar 76,000 orang terkena dampaknya. (Lihat CRED 2006). Data yang disodorkan CRED tidaklah memperhitungkan peristiwa-peristiwa “silent emergency” disekitar tambang yang mana hak-hak korban dikhianati oleh industri tambang.

Sayangnya, data quantitative yang dimiliki oleh Center for Research of Epidemiological Disasters (CRED) ini tidak banyak membicarakan tentan tambang. Banyak kasus-kasus kecil yang tidak terdata. Wacana tambang dan bencanapun merupakan penemuan modern, walaupun faktanya sudahlah seusia penemuan manusia atas tambang.
Peristiwa bencana teknologi masih belum dilihat sebagai sebuah tantatangan dalam mencapai Millennium Development Goals (MDGs), dengan asumsi yang tidak sepenuh benar bahwa industri tambang hanyalah mengeksploitasi tapak ekologis yang kecil, dan memberikan kesempatan yang besar bagi pembangunan. Uang hasil tambang bisa menjadi “enabling conditions” bagi pembangunan lokal demi peng-sejarah-an kemiskinan (make poverty history).
Beberapa tahun sebelumnya, ahli bencana terkemuka dari Cambridge/Colorado University seperti Ilan Kelman dan Ben Wisner dari LSE & Orbelin College memulai wacana tentang perlunya sebuah lembaga internasional yang bernama Intergovernmental Panel on Disasters, sebuah kopian dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terdiri dari para ahli bencana dunia, yang dimandatkan untuk mendisain scenario global pengurangan resiko bencana.

Lahirnya Hyogo Framework merupakan momentum yang baik, karena beberapa hal penting terungkap secara eksplisit mengenai dialektika bencana dan pembangunan, bahwa di satu sisi, pembangunan berkontribusi pada bencana serta dalam realitas yang lain, bencana merusak pembangunan.

Hyogo framework, dilukiskan oleh Ben Wisner dan Peter Walker (Beyond Kobe - A Proactive Look at the World Conference on Disaster Reduction. 18-22 January 2005, Kobe, Japan), bukan ibarat sebuah “ad-hoc wish-list”, alias bukan air di daun talas. Hal penting yang diangkat adalah (1) Bencana berkaitan erat dengan pembangunan. Bahwa bencana dan pembangunan memiliki hubungan dialektis. Pada suatu saat, bencana merusak pembangunan dan membuat kemelaratan, dan pada saat yang lain pembangunan memproduksi bencana. (2) Pembangunan yang baik mereduksi bencana, pembangunan yang buruk menyebabkan bencana. (3) Pengetahuan yang baik dibarengi dengan data yang cukup merupakan dasar yang baik bagi perencanaan reduksi bencana yang effektif.

Framework Hyogo membuka jalan bagi lembaga PBB ISDR (International Strategy on Disaster Reduction) memfasilitasi dan menstimulasi target-target bersama di level internasional dan nasional menuju pengurangan resiko bencana sehingga jalan menuju visi bersama antara negara yang tertuang dalam MDGs tidak tertunda. Sungguh melegakan karena adanya komitmen bersama dunia untuk mencegah sebagian orang terjebak dalam kemiskinan dan kemelaratan yang berkajang akibat bencana, termasuk bencana yang bersumber dari tambang.

Kofi Anan pernah membuat pernyataan menarik ditengah keraguan banyak pihak atas investasi untuk mitigasi bencana yakni bahwa keutungannya yang paling nyata adalah ”disasters that never happend” di daerah rawan bencana. Pernyataan ini harus diperluas hingga meliputi daerah tambang.

Pesimisme kebencanaan Indonesia tentunya tidak bisa dibiarkan tumbuh liar hingga anak-anak ibu pertiwi terbunuh oleh musuh tak bernyawah yang harusnya bisa dicegah, asalkan saja, komitmen penguasa masih berpihak pada mereka yang lemah, rentan dan bahkan rapuh khususnya di daerah-daerah rawan bencana dan daerah tambang.

5. Mitos-Mitos Tambang
Menolak tambang secara radikal merupakan utopis, atau bahkan bentuk anomali logika manusia. Tambang tidak selalu buruk dan berdosa. Tambang tidak bisa dilihat dari kaca mata kaum fundamentalis extrimis yang melihat dunia secara hitam putih. Tambang merupakan bentuk livelihood manusia yang sudah sangat tua. Sebagai misal, kebudayaan emas dan perak sudah berusia sangat tua. Sejarah penjajahan dan penaklukan bangsa-bangsa sejak jaman sejarah bermuara pada penguasaan atas emas, salah satu jenis sumber daya tambang yang sudah sangat tua.

Bahwa ada praktek penghisapan dan pemiskinan dan bencana akibat penambangan mineral yang dibutuhkan manusia, adalah sebuah realitas yang perlu dicari jalan keluarnya.

Akan tetapi Joan Kuyek, National Co-ordinator, MiningWatch Canada mengungkapkan beberapa mitos-mitos pertambangan yang layak dicatat. Mitos pertama, adalah bahwa “pertambangan adalah tentang esktraksi mineral semata”. Pertambangan bukan sekedar ekstraksi mineral bumi tetapi lebih dari itu industri tambang hanya tertarik dengan keuntungan (profit) jangka pendek. Pembangunan berkelanjutan bukanlah agenda utama. Betapa tidak, direktur-direktur tambang MNCs biasanya digaji 200,000 – 300,000 US$. Sedangkan dibanyak tempat, penduduk-penduduk asli yang telah mendiami tambang hidup dibawah 1 US$ per hari.

Mitos kedua, mitos bahwa pertambangan hanya membutuhkan tapak ekologis yang kecil. Kenyataannya lubang-lubang raksasa akibat tambang bukan sesuatu yang gampang di bersihkan atau diurug kembali. Disamping tailings yang mengandung toxic yang selanjutnya bisa meracuni alam. Dampak ekohidlogisnya besar, hingga ke pada pencemaran air tanah.

Mitos ketiga, adalah bahwa ”komunitas senang dengan tambang”. Kenyataan: tambang tidak diterima oleh setiap orang di komunitas. Beberapa orang dari komunitas diuntungkan sedangkan sebagian lainnya termarjinalkan. Dari pengalaman di Nusa Tenggara Timur, seperti di Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, para tuan tanah dan tua adat (land lords) buatan Penjajah Belanda dan Pemerintah menjual tanah adatnya dengan gampang tanpa mempedulikan bahwa ada mayoritas masyarakat lokal yang akan berhadapan dengan penurunan muka air tanah yang berkontribusi pada penurunan produksi, polusi udara yang meningkatkan penyakit ISPA akut, polusi air tanah yang menurunkan status kesehatan, konversi lahan hutan menjadi tambang, dan secara langsung memarginalkan bahkan mengeliminasi secara total komoditas-komoditas Non-Timer Forest Products (NTFP) atau hasil-hasil hutan non kayu seperti sangkar Burung Layang-Layang, hewan-hewan hutan kaya protein hewani yang gratis buat masyarakat miskin di sana, sejak ratusan tahun lalu.

Mitos ke empat yang sangat berelasi dengan Indonesia adalah bahwa “pemerintah adalah pelindung rakyat dan aturan hukum yang mengaturnya”. Kuyek mengatakan bahwa “Kenyataanya walaupun aturan ada, tapi “the devil is always in the details”. Kejahatan terletak pada detail dari aturan-aturannya, yang mana kontradiksi dan multi-interpretative, dan merupakan jalan toll menuju mal-praktek tambang.

AMDAL/EIA (Analisa mengenai dampak lingkungan atau Environmental Impact Assessment) ataupun yang lebih holistik yakni ESIA (environmental and social impact assessment) kerap dijadikan pintu masuk bagi kerusakan ekologis ketimbang melakukan mitigasi. Di titik ini, orang dapat terjebak melakukan the end justify the means (tujuan menghalalkan cara). Jadi entah AMDAL atau EIA ataupun ESIA kerap merupakan means yang akan secara sistimatis melakukan spiral kekerasan, sejak awalnya. Toh, dalam prakteknya di Timor, modal menggunakan pihak pemegang senapan untuk memulai intimidasi sejak awal.

Kelima, mitos Tambang dan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam banyak argumentasi, ekonomi tambang menjadi pembenaran atas degradasi lingungan. Industri tambang hampir tidak mendambakan komunitas yang kritis dan kuat. Yang diinginkan adalah sebaliknya. Embel-embel pembangungan komunitas (community development) sebagai bentuk Corporate Social Responsibility adalah bagian sistimatis pembodohan komunitas. Perubahan paksa dari masyarakat substiten dan semi-hunter-gatherer (meramu) seperti di Papua menjadi cash economy adalah sebuah kebersalahan (do harm approach).

Keenam, mitos bahwa “kita butuh raw minerals baru”. Banyak dari kebutuhan akan mineral kita bisa dilakukan dengan konservasi, recycling and menggunakan kembali. Properti dari logam memberikan keuntungan bagi penggunaan kembali (reuse). Tidak seperti material daur ulang lainnya seperti plastic dan kertas, logam lebih unggul dan secara berulang bisa daur ulang tanpa terjadi degradasi propertinya. Logam dari sumber sekunder sama baiknya dengan yang baru. Keuntungan ekologis dari daur ulang luar biasa besar. Sebagai misal, penghematan energy dengan daur ulang logam adalah sebagai berikut: Zn – 60%, Baja– 74%, Cu –85%, Alumunium – 95%. Untuk daur ulang Baja keuntungan yang diperoleh adalah bahwa dengan 90% penghematan material akan berkontribusi pada 86% reduksi emisi carbon, 40% reduksi sampah, 76% reduksi polusi air, dan 97% tailings.

Rasio Cost and Benefit Analyis menjadi lebih besar secara significant. Juga, tidak perlu dengan biaya urugan (landfilling) yang semakin besar. Kesempatan kerja untuk industri daur ulang juga lebih besar ketimbang kerja-kerja urugan dan buangan sampah industri (waste disposal).

Ke tujuh, “tambang di dunia ketiga lebih baik ketimbang di dunia pertama”. Joan Kuyek menyanggah mengingatkan relasi tambang di Tropis dan perubahan iklim. Untuk Indonesia, contoh ini telak karena tambang telah menyentuh daerah-daerah hutan konservasi. Dengan penurunan luasan hutan tropis karena tambang, maka daftar dosa tambang semakin banyak yakni dengan berkontribusi pada perubahan iklim dunia karena memperkecil carbon sequestration.

Jikalau Kuyek benar, maka dialektika tambang dan pembangunan tidak bisa menghasilkan kondisi ideal (first best) yakni bahwa tambang mereduksi kemiskinan, memaksimalkan ekonomi dan merupakan “enabling conditions” bagi komunitas pada berbagai level dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Ekonomi nasional pun tertolong, negara dan rakyat pun sejahtera.

Bila Kuyek benar, maka pilihan bagi rakyat sangat kecil yakni bahwa hanya akan terjadi Second Best atau Third Best. Selalu ada yang diperkaya, diuntungkan. Selalu ada yang dirugikan, dimiskinkan bahwa disingkirkan. Negara bahkan tak berdaya menerima takdir ini. Bila ini benar, maka Ross dan Collier, harus menerima nobel bidang social politik karena mereka telah meramalkan bencana, konflik, perang sipil di daerah-daerah kaya mineral.

6. Tambang dan Gender
Dampak tambang adalah bencana dalam banyak wajah. Sebagian korban berwajah peremuan. Ingrid Macdonald pernah membuat daftar dosa tambang terhadap gender, khususnya perempuan. Pertama, perusahaan tambang kerap bernegosiasi seputar benefit dan kompensasi dengan laki-laki, hal ini terjadi Bahkan dalam komunitas matrilineal dimana perempuan secara tradisional menjadi tuan tanah. Kedua, tambang tidak mengenali relasi saling tergantung antara agama dan kerohanian dengan perempuan asli dengan lingkungan mereka, manakala mereka menjadi pengungsi internal (IDPs).

Ketiga, perempuan memiliki sangat sedikit kontrol dan akses atas keuntungan-keuntungan (jangka pendek maupun jangka panjang) khususnya yang berkaitan dengan uang dan kesempatan kerja. Di lain pihak, perempuan tidak lagi memiliki akses atas penghidupan (livelihood) yang berbasis sumber daya alam. Peran dan tanggung jawab perempuan dipinggirkan. Beban kerja perempuan bertambah yang tercipta karena laki-laki bekerja pada tambang sedangkan perempuan harus bergantung pada tanggungan ekonomi rumah tangga dan penyediaan makanan dengan cara tradisional. Hal ini diperparah dengan degradasi lingkungan, tanah dan air. Perempuan masyarakat meramu (semi hunter gatherer) harus berjalan lebih jauh dari biasanya kerena sumber-sumber pangan semakin hari semakin jauh.

Bagi perempuan kepala keluarga, mereka semakin banyak beban. Dalam segala aspek kemanusian seorang perempuan, mereka termarginalkan. Belum terhitung kekerasan domestik yang kerap dialami mereka. Kehadiran industri tambang membuka kesempatan pada perkembangan HIV/AIDS dan ini menambah daftar kerentanan perempuan. Bisa disimpulkan, bencana tambang kerap berwajah perempuan dan merampas hak-hak perempuan.

7. PENUTUP
Perusahaan tambang harus sejujurnya mengakui bahwa tambang tidak netral. Industri tambang memiliki pada dirinya sendiri evil (kejahatan) dan devil (keiblisan). Perubahan paksa yang terjadi atas segala dimensi kehidupan dan penghidupan rakyat lokal sekitar tambang memiliki resiko-resiko yang tidak gampang dikelolah oleh pemerintah maupun perusahaan tambang demi kemaslahatan masyarakat lokal.

Alih-alih membangun lewat tambang, yang terjadi justru pemiskinan. Wajah ramah industri tambang masih merupakan kemewahan.
Mitigasi dampak haruslah didasarkan pada kalkulasi hak-hak dasar manusia. Bahwasanya tambanglah yang membawa berbagai bencana baru, mulai dari yang sifatnya ekologis, hingga yang sosiologis dan endemic seperti HIV/AIDs. Sehingga keliru besar ketika napsu untuk profit maximizing menafikan kewajiban modal alias industri tambang dan negara yang diuntungkan untuk membayar dan memenuhi hak-hak rakyat, terutama perempuan, yang termarjinalkan dalam segala hal.
Semoga Ross (1999) tidak benar ketika kembali menanyakan dan merefleksikan bahwa mungkin saja kekayaan tambang kita di Indonesia merupakan sumber daya kutukan (resource curse). Untuk membuktikan ramalan Ross salah, maka orang harus melakukan secara total management resiko dan mitigasi, yang di dasarkan pada kesadaran akan hak-hak rakyat daerah tambang.
Asumsi dasar dari modal dan extractive industri (termasuk tambang) dunia adalah profit maximizing, dan komitmen pada pembangunan masyarakat adalah artisifial semata penuh kesemuan adalah keniscayaan. Coba tilik kasus Mollo saat ini, mengapa kalau pertambangan itu baik, selalu melibatkan preman-preman lokal? Ini tentunya bertujuan agar ada konflik horisontal antara yang pro dan kontra.
Tulisan ini tidak memberikan rekomendasi muluk-muluk. Hanyalah satu hal bahwa resiko-resiko tambang akan dipikul seluruh masyarakat sedangkan aliran keuntungan dan uang tidak akan dimiliki oleh rakyat.
Kedengaran radikal? Mungkin. Tetapi radikalisme pembangunan dalam wajah tambang sudah banyak menelan nyawah manusia. (lihat Macdonald (2003) ‘Mining, Human Rights and Gender Equality’ Mining for whom?)
Dalam konteks yang lain ada yang mengatakan bahwa “sumber daya perang (resource wars)” sebagian disebabkan oleh perusahaan logging atau tambang yang ‘merampok lingkungan’ dan mengeluarkan orang yang sudah lama mendiami tanahnya atau menghilangkan segala penghidupan mereka yang bergantung pada tanah tradisional mereka.
Dalam konteks Mollo, Usif-Usif dan Fetor sudah sejak lama hidup dari rakyat. Rakyat yang menghidupi mereka bukan sebaliknya. Bila tidak ada rakyat, maka Usif kehilangan relevansinya. Wong, usif-usif yang ada sekarang pun adalah usif warisan penjajah belanda. Jadi kalau ada usif yang sok kuasa, jangan lagi didengar suaranya, karena sejak jaman Belanda, mereka adalah antek-antek penjajah yang kejam dan kerjanya memeras rakyat kecil (sadar atau tidak sadar). Bila mereka yang Usif dan aparat yang juga suka ber-gereja, tetapi tidak pro rakyat kecil, mereka adalah utusan-utusan setan alias serigala berbulu domba.
Kalau usif dan pemerintah lebih pentingkan kepentingan jangka pendek, maka rakyat yang baik harus berusaha mengingatkan mereka secara serius. Dalam hal ini, penulis setuju atas penolakan tambang di TTS, bukan hanya kasus Mollo. Tambang di Mollo adalah agenda strategis untuk merusak Mollo yang selama ini menjadi pasokan buah-buahan bagi TTS dan Kupang.
8. Referensi
Collier, P., and A. Hoeffler. 2000. “Greed and Grievance in Civil War.” World Bank Policy Research Working Paper 2355. Washington D.C.: World Bank.

DTE 39:6, Nov/98; DTE 47; Development Agression, Observations on Human Rights Conditions in the PT Freeport Indonesia Contract of Work Areas With Recommendations.
Gedicks, Al (2001), Resource Rebels: Native Challenges to Oil and Mining Corporations. Boston: Southend Press.
Kuyek, Joan (2004) Mining Myths. A presentation to the Citizen’s Mining Advisory Group1 MiningWatch Canada.
Macdonald, Ingrid (2003) ‘Mining, Human Rights and Gender Equality’ Mining for whom? Papua New Guinea mine affected communities conference
Motupore Island Mining Ombudsman, OCAA.

OCAA (2004) Mining Ombudsman Report 2004.

Ross, Michael (1999) “The political economy of the resource curse”. World Politics 51 pp. 297-322.
Ross, Michael (2003:2) “How Do Natural Resources Influence Civil War? Evidence from 13 Cases”. Department of Political Science, UCLA. Prepared for the Yale-World Bank project on “The Economics of Political Violence.”
Ross, Michael (2003) Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia. Department of Political Science UCLA Prepared for the Yale-World Bank project on “The Economics of Political Violence.”

Ross, Michael (2003) A Closer Look At Oil, Diamonds and Civil War. Annu. Rev. Polit. Sci. 2006. 9:265–300.

[1] Paper ini bukanlah paper ilmiah. Dibuat untuk mendukung masyarakat Mollo dalam upaya mitigasi bencana di Mollo, dengan cara tidak memberikan gunung-2 mereka ditambang untuk kepentingan sesaat.
[2] Penulis adalah pengamat Bencana Nasional, tamat S2 dari Inggris, sering menulis di Kompas dan Jakarta Post tentang Bencana. Juga adalah putra Mollo yang menganut prinsip bahwa ke-Mollo-an seseorang tidak bisa diklaim berdasarkan fam atau marga, melainkan kepedulian terhadap Mollo, dalam berbagai sektor. Bila ada yang berkeberatan dengan isi tulisan ini, maka prinsip ”pena melawan pena” seharusnya diterapkan dan bukan kekerasan ataupun premanisme yang kerap dipakai para pengusaha tambang dan pemerintah yang keji. Semoga, Bupati dan DPRD TTS sebagai orang-orang yang beragama, betul betul menerapkan prinsip ”kasihilah rakyat Mollo” seperti dirimu sendiri dan janganlah menjual rakyat Mollo dengan tambang yang membawa bencana penghidupan rakyat Mollo. Email: tanlas@telkom.net
[3] Paul Collier, The World Bank, April 10, 1999; Doing Well Out of War.
[4] Down to Earth Nr. 59 November 2003

Engin ummæli: