9.06.2006

Proses Perlawanan: 29 Agustus 2006

Masyarakat Desa Fatumnasi 103 kk didampingi oleh OAT, LBH TIMOR[1], PIAR[2] dan FPR[3] menemui anggota DPRD TTS yang sedang mengikuti rapat paripurna. Pengaduan oleh masyarakat menjadi salah satu agenda dalam rapat tersebut, sehingga masyarakat diberi kesempatan untuk menjelaskan kronologi persoalan yang oleh masyarakat disebut sebagai penyerobotan tanah rakyat oleh pelaku industri tambang. Setelah mendapat penjelasan dan salinan kronologi kasus, anggota DPRD TTS menyanggupi untuk melakukan peninjauan di lapangan setelah rapat paripurna berakhir (11 September 2006).

Selain detail persoalan yang tertulis dalam lembar kronologi (di atas) salah satu warga yang berdomisili di sekitar Fautlik, bernama Agustinus Luli, juga mengalami tindakan teror yang dilakukan oleh Yusak Oematan dan anggota Polsek. Luli diancam akan diproses oleh Polsek. Padahal menurut pengangkuan Luli, ia lah yang dicari-cari oleh Yusak bersama aparat untuk dipukuli, karena ia adalah salah satu dari kelompok warga yang berniat menggugat penjualan batu oleh Yusak dkk.

Persoalan yang dialami Agustinus Luli memang bagian dari persoalan penjualan batu Fautlik serta tanah seluas 50Ha oleh Yusak Oematan, Lambert Oematan, Nikanor Fau[4] dan Yustus Tanu (warga Tunua). Meski tidak memiliki tanah di sekitar Fautlik, keempat orang ini telah menandatangani surat penjualan Fautlik dan tanah seluas 50Ha kepada pelaku industri tambang, dalam hal ini PT Teja Sekawan, yang kemudian menggunakan surat bukti penjualan dan SK Bupati sebagai alat pembenar saat melakukan penyerobotan tanah milik Ety Anone. Sedangkan 103 kk yang selama ini berdomisili di sekitar Fautlik dan mengolah tanah di sekitarnya, tidak tahu apa-apa. Mereka baru kaget ketika tanah yang digarap oleh keluarga Ety Anone telah dirusak oleh excavator milik PT untuk dijadikan jalan masuk ke area tambang. Rencananya 103 kk ini akan menggugat ke-4 penjual batu dan tanah, karena mereka sebenarnya tidak punya hak apapun atas apa yang mereka jual. Meski memang tanah yang dimiliki oleh 103 kk itu tidak dikuatkan oleh sertifikat pemilikan hak atas tanah. Namun telah lama dikelola menjadi lahan tanaman pangan karena merupakan satu-satunya lahan penghidupan mereka. Saat dirusak pun, tanah tersebut sedang diolah dan penuh dengan tanaman pangan milik masyarakat.


[1] John Ola dan Sammy Sanam

[2] Arifin dan Eliaser (hanya Eliaser yang mengikuti pertemuan DPRD)

[3] Forum Pembela Rakyat—dikelola oleh salah seorang mantan anggota FORDA-TTS

[4] Bukan orang baru bagi OAT. Ia mengaku tidak tahu surat apa yang ditandatangani saat itu, tetapi siap jika digugat

Engin ummæli: